Indonesia akan segera memiliki pemimpin baru. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, sepak terjang pemimpin juga harus dilihat sejauh mana dia bertugas dalam perspektif Islam.
Menurut Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, ada lima kategori pemimpin ideal menurut Imam Ghazali. Pertama, seorang pemimpin harus mampu menjaga agama yang dianut oleh rakyatnya.
"Individu masing-masing harus mendapatkan perlindungan, menjaga umat agar tidak melakukan hal yang dilarang dan menjalankan aturan yang diperintahkan," ujarnya. Kedua, seorang pemimpin harus mampu menjaga harta yang dimiliki negaranya.
Saat ini sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sangat banyak dan sudah semestinya dapat dijaga untuk kesejahteraan rakyatnya. Sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, pemimpin itu harus mampu menggunakan anggaran negara untuk kesejahteraan rakyatnya.
Pemimpin harus mampu menjadi pengelola dalam hal ini membelanjakan harta untuk kesejahteraan rakyatnya. Tetapi kenyataannya ketimpangan makin melebar, orang miskin semakin besar.
Ketiga, pemimpin harus menjaga kebebasan berpendapat. Keempat, siapa pun yang memimpin harus mampu menjaga dan melindungi jiwa yang dipimpinnya.
"Menjaga keamanan bukan hanya menjaga dari perampokan dan konflik bersenjata, tetapi juga menjaga agar rakyat aman dari adanya kekerasan," ujarnya. Karena saat ini pembunuhan dan kekerasan yang terjadi semakin sadis.
Kelima, pemimpin harus menjaga martabat bangsa dan menjaga generasi penerusnya. Martabat ini dilihat dari standardisasi yang ada di dunia.
Akhlak masyarakat yang merosot tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pemimpin. Khofifah mencontohkan maraknya pornografi. Seorang pemimpin harus bisa mengendalikan ekses buruk pornografi karena sudah berpengaruh pada pergaulan bebas.
"Data 2013 lalu saja sebanyak 600 ribu anak berusia 10-11 tahun telah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Sehingga, menjaga akhlak generasi penerus sangat penting," kata mantan menteri pemberdayaan perempuan ini.
Hal yang merisaukan Khofifah saat ini, yakni banyak pemimpin yang tak mengerti tugas dan tanggung jawab, seperti kriteria Imam Ghazali tadi. Yang ada hanya berpedoman pada kerangka normatif ,seperti Rancangan Pembangunan Jangka Menengah atau Jangka Panjang lima tahunan saja.
Padahal, sebuah negara yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa harus memiliki pemimpin yang bertanggung jawab tidak hanya duniawi saja, tetapi ukhrawinya. Mereka harus memiliki dan memperjuangkan nila kearifan, keluhuran, dan nilai religiositas.
Juru Bicara HTI Ismail Yusanto mengatakan, dalam pandangan Islam seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Harus disadari seorang pemimpin tidak hanya berhenti tanggung jawabnya ketika di dunia saja, tetapi juga ketika di akhirat.
Menurutnya, tugas seorang pemimpin harus mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pemimpin harus mampu memenuhi segala hak asasi yang dimiliki setiap individu, baik sandang, pangan, papan, keamanan, dan infrastruktur.
"Tetapi, saat ini saya melihat keberhasilan hanya dilihat dari agregatnya saja, padahal kebutuhan hak asasi itu adalah hak orang per orang," ujarnya. Saat ini masih banyak rakyat yang kelaparan, hidup di bawah jembatan dan pinggiran rel.
Seorang pemimpin seharusnya mampu melepaskan negaranya dari dominasi asing dari segala hal. Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang seharusnya dipakai untuk kesejahteraan rakyat, tetapi tidak tercapai.
"Pemimpin harus meningkatkan kemampuan negaranya dan memenuhi kebutuhan rakyat, bukan justru menambah derajat ketergantungan karena imbalan yang besar," katanya. Sehingga, dibutuhkan dasar-dasar syariah yang diterapkan di Indonesia dalam pengelolaan ekonomi.
Saat ini sistem yang ada hanya berdasarkan kapitalisme dan mementingkan pemilik modal. Pemimpin yang bertanggung jawab dapat dilihat ketika awal dan proses ketika mendapatkan kekuasaan. Pemimpin yang bertanggung jawab adalah pemimpin yang mendapatkan kekuasaan dengan cara yang benar tanpa menipu.
Pemimpin bukan amanah untuk bersenang-senang. Pada masa Rasulullah dan Khulafur Rasyidin pemimpin tidak pernah main-main dan mengabaikan rakyat.
Bahkan, tak jarang pemimpin yang pada awalnya kaya raya pada akhir kepemimpinannya harus jatuh miskin karena menggunakan kekayaannya untuk menyejahterakan rakyat. Saat ini Islam hanya dijadikan sebagai agama secara pribadi bukan mewarnai kepemimpinan.
Banyak pemimpin yang telah bersumpah atas nama Allah, tetapi melanggar sumpahnya sendiri. Memenuhi janjinya dengan Tuhannya tidak dapat memenuhi apalagi janjinya dengan manusia.
Seorang pemimpin pun harus memegang teguh halal dan haram. Saat ini, menurut Ismail, pemimpin pun sudah mengabaikan aturan halal dan haram.
Ketua MIUMI Ustaz Fahmi Salim mengatakan bahwa tanggung jawab pemimpin yang baru saat ini merupakan memilih pembantu, menteri-menterinya dari orang-orang yang bersih. Mereka harus memiliki amanah dan ahli dalam bidangnya.
Kedua, seorang pemimpin dalam menjalankan tugas harus menerapkan hukum seadil-adilnya. Pemimpin harus membersihkan masyarakat dari kerusakan budaya dan berusaha menjalankan amal maruf nahi munkar.
Sosok pemimpin juga mesti mendengarkan aspirasi masyarakat. Terlebih, mayoritas penduduk Indonesia ialah Islam. Menerbitkan kebijakan yang meresahkan umat Islam sama saja berlaku tidak adil.
"Seperti rencana menghilangkan perda syariah selain di Aceh, sebaiknya tidak dilakukan. Nanti bisa menimbulkan keresahan dan kekecewaan umat Islam," katanya. Mereka juga harus mencontoh dalam menegakkan hukum seadil-adilnya dan melindungi umat non-Muslim serta mewujudkan nilai-nilai pada masa kepemimpina Rasul.
rep:ratna ajeng tejomukti ed: hafidz muftisany