Konsep keadilan dalam perspektif Alquran dapat dilihat pada penggunaan lafaz adil dalam berbagai bentuk dan perubahannya. Muhammad Fuad Abdul Baqiy dalam kitab al-Mu’'jam al-Mufahras Li Alfaz mengemukakan, lafaz adil dalam Alquran disebutkan sebanyak 28 kali yang terdapat pada 28 ayat dalam 11 surah.
Secara etimologis al-adl bermakna al-istiwa (keadaan lurus). Kata ini semakna dengan jujur, adil, seimbang, sama, sesuai, sederhana, dan moderat. Bahkan, kata ’adl juga bermakna al-I’wjaj (keadaan menyimpang) atau kembali dan berpaling. Kata yang semakna dengan ini, yaitu al-qisthu dan al-Miza yang berarti berlaku adil, pembagian, memisah-misahkan, membuat jarak yang sama antara satu d-an yang lain, hemat, neraca.
Menurut sosiolog Islam Ibnu Khaldun, adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Maksudnya memenuhi hak-hak orang yang berhak dan melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam masyarakat.
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan, kata adil diartikan dengan tidak memihak atau tidak berat sebelah. Adil juga diartikan dengan sikap berpihak kepada kebenaran atau perbuatan yang tidak sewenang-wenang. Hal ini sejalan dengan definisi M Quraisy Shihab yang menyebutkan kata adil pada awalnya diartikan dengan sama atau persamaan, itulah yang menjadikan pelakunya tidak memihak atau berpihak pada yang benar.
Dalam surah an-Nisa’ [4] ayat 58 disebutkan, "Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." Ayat ini memerintahkan manusia agar berlaku adil dalam menetapkan hukum di antara manusia. Sekiranya seseorang menetapkan hukum yang tidak adil, kehidupan masyarakat menjadi pincang, dan akan terjadi diskriminasi.
Abdul Muin Salim menyebutkan perintah menetapkan hukum dengan adil di antara manusia secara kontekstual tidak hanya kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat, tetapi juga kepada setiap orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan mengurus atau memimpin orang lain. Seperti, suami terhadap istrinya dalam pemberian nafkah, terutama jika istri lebih dari satu, orang tua terhadap anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan hibah.
Muhammad Abduh menambahkan, keadilan yang dimaksud dalam ayat ini juga meliputi adil dalam kekuasaan politik hingga sikap dan perlakuan hakim terhadap pihak yang bersengketa. Adil juga dimaknai perhatian terhadap hak-hak individu. Menetapkan hukum yang harus ditegakkan dalam kehidupan tidak lain merupakan untuk memberi perlindungan kepada setiap orang atau individu yang harus dinikmati dalam kehidupannya setiap hari.
Jadi, berlaku adil merupakan perintah Allah SWT yang harus ditegakkan. Rasul-Nya diutus juga untuk menegakan keadilan dan memerintahkan kepada umatnya untuk berbuat dan berlaku adil. Ketegasan perintah untuk berbuat adil ini menggunakan fi’il amr yang bermakna wajib untuk dilaksanakan. Sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berlaku adil dan berbuat ihsan (kebaikan)." (QS an-Nahl [16] : 90).
Seorang Muslim harus adil terhadap dirinya sendiri, seperti menyatakan sesuatu dengan benar, baik dalam ucapan, perbuatan, dan tingkah laku sekalipun hal itu merugikan diri sendiri. Adil terhadap diri sendiri bermakna memelihara kejujuran dalam segala hal sehingga dapat memperlakukan orang dengan baik, tidak melakukan diskriminasi, dirinya dihiasi dengan kebaikan, dan tidak ada tanda-tanda sesuatu yang dapat merugikan orang lain.
Di samping itu, adil dalam rumah tangga juga menjadi bentuk dari perilaku adil. Setiap orang terlibat dalam kehidupan rumah tangga memiliki hak selain kewajiban yang harus diperoleh dan dilakasanakan dalam mewujudkan kedamaian, keharmonisan, dan kesejahteraan dalam rumah tangga.
Suami sebagai kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya (sandang, pangan, dan papan). Terutama sekali ketika suami memiliki lebih dari satu istri, ia harus berlaku adil terhadap istri-istri mereka sehingga tidak memiliki kecenderungan yang lebih kepada yang dicintai.
Pada tahapan selanjutnya, seorang diwajibkan pula adil dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat mempunyai hak dan kewajiban. Setiap hak menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi, demikian juga kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan kedudukan mereka dalam struktur masyarakat.
Setiap orang memiliki hak pribadi yang bersifat asasi, yakni hak hidup, hak memiliki harta, hak memelihara kehormatan, hak kebebasan, kemerdekaan, dan persamaan, serat hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Mengenai hal ini disebutkan Dr Mustafa Husni al-Siba’iy dalam bukunya Isytirakiyat al-Islamiy, setiap hak harus diserahkan kepada pemiliknya agar kewajiban terlaksana dengan baik dan sempurna.
Selain itu, seorang diminta juga untuk adil dalam perwalian, persaksian, perdamaian, bahkan juga adil terhadap musuh. Meskipun kepada musuh, seorang Muslim dilarang berlaku diskriminatif. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS al-Maidah [5]: 8)
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa setiap Muslim harus memelihara keadilan, bahkan belaku adil kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang dimusuhi atau memusuhi. rep:hannan putra ed: hafidz muftisany