Jumat 15 Jan 2016 11:00 WIB

Tampil Cantik dengan Gigi Crown, Bolehkah?

Red:

Semakin majunya ilmu kedokteran, kini gigi yang kurang menarik bisa dipasangkan crown. Crown yakni suatu teknik memberikan 'sarung' pada gigi yang bermasalah. Tujuannya, untuk membuat gigi menjadi lebih kuat serta punya nilai estetika. Tekniknya dengan mengikir terlebih dahulu, kemudian disarungkan restorasi gigi (crown). Bagaimana tinjauan syariatnya?

Soal mengikir gigi, secara sarih (jelas) ada hadis Nabi SAW yang mengecamnya. Sabda Beliau SAW, "Allah melaknat wanita-wanita yang mengikir (gigi) agar lebih cantik dan wanita-wanita yang merubah ciptaan Allah." (HR Bukhari Muslim).

Tentu saja yang dimaksudkan bukan hanya wanita saja. Dan tentu saja bukan hanya tindakan mengikir gigi saja yang diharamkan. Tetapi seluruh tindakan yang bertujuan mengubah ciptaan Allah SWT.

Namun dalam memandang permasalahan ini, para ulama lebih mengedepankan maqasid syari'ah (tujuan yang melatar belakangi perbuatan tersebut). Berdasarkan kaidah fikih, Al-umuru bimaqashidiha (suatu perbuatan dinilai dari tujuan melakukannya).

Dalam hadis sahih soal larangan mengikir gigi tersebut, jelas tujuannya untuk mengubah ciptaan Allah SWT. Mukallaf (pelaku) diistilahkan dengan wanita sebagai isyarat bahwa tindakan tersebut bertujuan untuk kecantikan. Jadi rumusnya, perbuatan yang mengubah organ tubuh dengan alasan kecantikan adalah haram.

Dalil larangan mengubah organ tubuh ini ditegaskan dalam Alquran. Firman Allah SWT, "dan aku (Iblis) benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya". Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata." (QS an-Nisaa [4]: 119).

Adapun jika ada tujuan-tujuan lain yang disebabkan uzur syar'i, seperti pengobatan atau menutupi aib, maka hal ini diperbolehkan. Hal ini berdalil dari hadis yang diriwayatkan Abdurrahman bin Tharafah. Ia mengisahkan kakeknya 'Arfajah bin As'ad mengalami luka ketika mengikuti perperangan. Hidung si kakek terpotong. Untuk menutupi cacatnya tersebut, ia menutupnya dengan perak, namun hidungnya kian membusuk. Nabi SAW memerintahkan untuk menutup hidungnya dengan emas (HR Abu Daud).

Kaidah asalnya, kaum laki-laki dilarang untuk memakai emas. Namun dengan alasan berobat atau menutup cacat seseorang, maka hal ini diperbolehkan. Kaidah hukum ini bisa dikembangkan bagi mereka yang memiliki gigi yang tonggos. Boleh hukumnya untuk meratakan giginya ke bentuk normal. Hal ini bukan termasuk dalam rangka mempercantik diri. Karena yang dimaksudkan mempercantik diri berasal dari anggota tubuh yang normal, bukan cacat.

Demikian juga pemasangan crown untuk gigi yang rapuh sehingga dikhawatirkan akan rontok giginya. Atau pada kasus gigi berlubang yang dikhawatirkan akan semakin parah jika tidak dipasangkan crown. Atau gigi patah karena kecelakaan sehingga ia terkategori sebagai orang yang cacat gigi. Demikian juga gigi yang bermasalah dan mengganggu dalam mengunyah makanan. Dalam kasus ini diperbolehkan, berdalil dengan hadis riwayat Abu Daud tersebut.

Ibnu Jarir ath Thabariy mengatakan, dispensasi bagi mereka yang ingin mengikir gigi tersebut hanya berlaku bagi orang yang cacat fisiknya. Baik karena bawaan lahir atau disebabkan kecelakaan. Bahkan, sebagaimana orang yang sakit dianjurkan untuk berobat, orang yang memiliki cacat fisik sedemikian juga dianjurkan untuk mengembalikan fisiknya ke kondisi normal.

Adapun ketika seseorang yang mempunyai crown atau gigi palsu setelah meninggal, tidaklah dianjurkan bagi keluarga jenazah untuk mencongkel atau melepas gigi palsunya. Terkecuali benda tersebut terbuat dari material berharga seperti emas karena ada unsur tabzir (berlebihan) jika tidak mengambilnya. Atau ada penyebab lain seperti benda tersebut berasal dari benda yang najis atau dikhawatirkan bisa menyakiti si mayit.

Ibnu Qudamah mengatakan, jika untuk menguatkan tulang diperlukan pula tulang, maka hal ini tidak mengapa. Sebagaimana gigi yang ompong dibuatkan gigi palsu dari gigi binatang yang halal dagingnya. Ketika meninggal, benda tersebut tak perlu dicopot. Oleh Hannan Putra ed: Hafidz Muftisany

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat 258)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement