Ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan. Salah satu caranya adalah dengan melakukan upaya preventif.
Selain olahraga dan menjaga asupan gizi, imunisasi dipandang sebagai salah satu cara yang efektif untuk melakukan pencegahan penyakit.
Namun, sering timbul pro kontra soal imunisasi. Sebagian masyarakat menolak imunisasi karena dianggap mendahului takdir. Selain itu, vaksin yang digunakan dalam imunisasi diragukan kehalalannya.
Sementara, masyarakat yang setuju dengan imunisasi melihat sisi kemanfaatannya yang teruji secara medis. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun memandang perlu menetapkan fatwa khusus tentang imunisasi.
Sebelumnya, pada 2002 dan 2005 MUI juga telah mengeluarkan fatwa tentang vaksin, tapi masih secara parsial, khususnya penggunaan vaksin polio. Kali ini, MUI mengeluarkan Fatwa No 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi secara keseluruhan.
MUI membedah secara lengkap fatwa tentang imunisasi setelah mendengarkan pemaparan dari segi medis, produsen vaksin, pandangan ulama, dan LPPOM MUI.
Dalam ketetapannya, MUI menjabarkan terlebih dahulu perihal imunisasi dan vaksin. Imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin.
Sedangkan, vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup, tetapi dilemahkan, masih utuh, atau bagiannya.
Vaksin dapat juga berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan yang ditambahkan dengan zat lain yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
MUI memutuskan jika imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Tapi, ada beberapa ketentuan kunci dalam fatwa ini.
MUI mewajibkan penggunaan vaksin untuk imunisasi harus yang halal dan suci. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram atau najis hukumnya haram.
Namun, MUI memberikan pengecualian. Proses imunisasi dengan vaksin haram dan atau najis diperbolehkan dengan beberapa syarat. Pertama, digunakan dalam keadaan al-dlarurat atau al-hajat.
Al-Dlarurat adalah kondisi keterpaksaan yang apabila tidak diimunisasi dapat mengancam jiwa manusia. Sedangkan, al-Hajat adalah kondisi keterdesakan yang apabila tidak diimunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
Lalu, syarat selanjutnya diperbolehkan dengan vaksin haram dan atau najis jika belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci. Keterangan tidak adanya vaksin yang halal dan suci ini harus diberikan oleh tenaga medis yang kompeten dan dipercaya.
MUI juga menerangkan keadaan khusus soal wajibnya dilakukannya imunisasi. Jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya maka imunisasi hukumnya wajib.
Catatan selanjutnya, imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya dapat menimbulkan dampak yang membahayakan (dlarar).
MUI mendasarkan beberapa keputusannya tadi berdasarkan nas dari Alquran, hadis, dan kaidah fikih. Beberapa dalil yang menjadi pertimbangan MUI adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 195, "…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…."
Soal menjaga kesehatan pada anak, MUI mendasarkan pada firman Allah SWT, "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (QS an-Nisa [4]: 9).
Menjaga diri dari penyakit pun juga dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menggarisbawahi jika obat yang digunakan haruslah yang halal. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, Allah telah menurunkan penyakit dan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram." (HR Abu Dawud).
Sementara, soal kaidah darurat, MUI mendasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi, "Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang." Dalam kaidah lainnya termaktub, "Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar (kebutuhan)-nya."
Berobat dengan benda najis selama belum ditemukan obat yang halal juga diperbolehkan oleh Imam Nawawi. Ulama besar yang bermahzab Syafii ini berpendapat, berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya. Tapi, apabila telah didapatkan obat dengan benda yang suci maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis.
Imam Nawawi menyandarkan pendapatnya pada hadis, "Sesungguhnya, Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian." Sehingga, ia menyimpulkan, berobat dengan benda najis menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis dan tidak haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut.
Yang tak kalah penting, MUI memberikan beberapa butir rekomendasi soal fatwa imunisasi. MUI meminta pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, baik melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
Pemerintah juga wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Pemerintah wajib segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin, termasuk meminta produsen untuk segera mengajukan sertifikasi produk vaksin.
Sementara, untuk produsen vaksin juga wajib mengupayakan agar bisa memproduksi vaksin yang halal. Produsen vaksin wajib menyertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga pernah mengeluarkan pendapat soal vaksin, khususnya vaksin polio. Majelis Tarjih berpendapat, vaksinasi polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah atau boleh sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas dari enzim itu.
Dasar pertimbangannya sebagian besar hampir sama dengan yang diungkapkan dalam Fatwa MUI. Majelis Tarjih menjelaskan, babi adalah mafsadah (buruk), polio juga mafsadah.
Menghadapi dua hal yang sama-sama mafsadah ini, harus dipertimbangkan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya. Maka, dalam rangka membentengi penyakit polio, dibolehkan menggunakan vaksin.
Selain itu, Majelis Tarjih juga memberikan catatan yang sama dengan MUI agar pihak-pihak yang berwenang dan berkompeten melakukan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga, suatu saat nanti dapat ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang hukum asalnya adalah haram. Oleh Hafidz Muftisany