Kurikulum 2013 menyiratkan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah harus berbasis teks. Bahasa Indonesia tidak dipandang sekadar mengajarkan pengetahuan berbahasa, tetapi sebagai alat mengaktualisasikan diri untuk menjawab fenomena yang terjadi di tataran masyarakat. Selain mengonsumsi pengetahuan bahasa, peserta didik dituntut untuk memproduksi teks bahasa.
Salah satu bentuk teks yang terbilang baru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kurikulum 2013, yakni anekdot. Teks anekdot terdapat pada kompetensi dasar kelas X jenjang SMA dan MA.
Anekdot, menurut Graham dalam Rahmanadia (2010: 2), digunakan untuk memaknai kata joke yang diartikan suatu narasi atau percakapan yang lucu. Kosasih (2013: 15) memaparkan, anekdot tidak semata-mata menyajikan hal-hal yang lucu, tetapi juga berupa pesan yang diharapkan bisa memberikan pelajaran pada khalayak.
Jika dihubungkan dengan pembelajaran, kehadiran anekdot menjadi tantangan tersendiri. Siswa dituntut memiliki selera humor untuk dapat dikembangkan dalam bentuk cerita. Sementara bagi guru, kreativitas menjadi syarat utama, khususnya saat menentukan media dan metode pembelajaran agar siswa terampil menulis anekdot.
Namun dalam praktiknya, banyak siswa yang kesulitan menemukan ide kreatif untuk menulis anekdot. Waktu pembelajaran menulis juga kurang efektif sebab dihabiskan siswa untuk mencari inspirasi yang bisa dituangkan dalam bentuk cerita.
Untuk memecahkan masalah ini, penulis berinisiatif melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) pada kompetensi dasar memproduksi teks anekdot. Komik strip menjadi media pembelajarannya. Komik strip merupakan cerita singkat berbentuk gambar. Isi cerita komik strip kerap mengangkat fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat. Hal tersebut tentunya akan sangat membantu siswa mengembangkan ide kreatif.
Teknisnya siswa dibagi menjadi beberapa kelompok belajar di kelas. Guru kemudian membagikan contoh anekdot pada tiap kelompok untuk didiskusikan secara struktur dan cirinya. Guru memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan struktur dan ciri anekdot kepada setiap kelompok.
Guru lalu membagikan komik strip kepada setiap kelompok. Setiap anggota kelompok diminta untuk membaca secara kritis komik strip tersebut. Selanjutnya, guru meminta kepada setiap kelompok untuk mendiskusikan kelucuan yang bisa ditimbulkan pada fenomena sosial yang terdapat dalam komik strip.
Agar diskusi berjalan dialektis, guru memberikan stimulus berupa fakta dan kontroversi yang berhubungan dengan fenomena sosial tersebut. Siswa kemudian ditugaskan untuk menulis teks anekdot berdasar pada fenomena sosial yang terdapat dalam komik strip.
Pemanfaatan komik stip ini ternyata diakui oleh mayoritas siswa membuat mereka lebih mampu mengatasi kesulitan menemukan ide kreatif menulis. Selain itu, pembelajaran di kelas menjadi aktif sebab terjadi dialektika pada kelompok belajar.
Restu Nur Wahyudin
Ketua Bidang Kajian dan Penalaran di Forum Pengajar Muda Progresif (FPMP).