JAKARTA -- Realisasi penerimaan pajak hingga tutup tahun 2016 diprediksi hanya 84,8 persen atau Rp 1.148,8 triliun dari target pemerintah Rp 1.355,2 triliun. Penerimaan pajak per akhir Oktober 2016 mencapai Rp 871 triliun atau 64,3 persen dari target pemerintah.
Kepala Riset dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) B Bawono Kristiaji mengatakan, angka proyeksi tersebut juga serupa dengan proyeksi yang pernah pihaknya lakukan pada November 2015, yaitu sebesar Rp 1.141 triliun. "Kita mengestimasi dengan pola di dua bulan terakhir biasanya ada lonjakan hingga 10 persen. Makanya, kita prediksi hanya akan ada penerimaan pajak Rp 1.148,8 triliun," katanya, di Jakarta, Rabu (23/11).
Bawono menyampaikan, lemahnya penerimaan pajak tersebut terlihat dari rata-rata realisasi bulanan yang hanya sekitar 5,5 persen dari target selama Januari hingga Agustus. Situasi ini terselamatkan oleh penerimaan uang tebusan dari program amnesti pajak periode pertama sebesar Rp 170,9 triliun atau 12, 6 persen dari target pemerintah.
Ia mengatakan, program pengampunan pajak periode pertama mendatangkan hasil di luar dugaan. Sebab, dari program amnesti pajak ini mampu meningkatkan basis data pajak dan partisipan, tingginya uang tebusan.
Bawono menambahkan, walau mengalami shortfall (realisasi lebih rendah dari target), yang diperkirakan mencapai Rp 203 triliun, kinerja 2016 masih jauh lebih baik dari tahun sebelumnya apabila diukur dari persentase realisasi terhadap target. Menurut dia, tahun 2015 masih memegang rekor terendah selama 15 tahun terakhir karena realisasi penerimaan hanya mencapai 82 persen dari target.
Menyoal penerimaan pajak tahun depan, diprediksi mencapai Rp 1.226 triliun untuk batas terendah. Nilai ini masih lebih tinggi dibandingkan prediksi penerimaan pada 2016 yang mencapai Rp 1.148,8 triliun. Target ini dipatok lebih rendah dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016, yakni Rp 1.307,6 triliun. Penerimaan tersebut terdiri atas penerimaan pajak penghasilan (PPh), baik sektor minyak dan gas (migas) maupun nonmigas, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), ataupun pajak lain. Target ini memiliki kontribusi mencapai 75 persen dari proyeksi seluruh pendapatan negara pada 2017.
"Hasil kajian kami penerimaan pada 2017 paling minimal bisa mencapai Rp 1.226,9 triliun. Jika perekonomian membaik, nilai pajak maksimal berada di kisaran Rp 1.241,44 triliun," kata Bawono.
Dengan angka ini, realisasi penerimaan pajak akan berkisar antara 94-95 persen dari target Rp 1.307,6 triliun. Penerimaan ini telah mempertimbangkan adanya perlambatan ekonomi, tingkat inflasi, program pengampunan pajak, dan kemungkinan lain yang bisa terjadi di tengah gejolak perekonomian dan politik.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus lebih gencar dalam menarik penerimaan pajak. Ia menilai, penerimaan pajak dari amnesti pajak justru mengalami perlambatan menjelang akhir periode kedua program ini.
Padahal, target penerimaan pajak pemerintah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 sebesar Rp 1.355,2 triliun. Namun, dengan adanya potensi shortfall penerimaan pajak sebesar Rp 218 triliun, target yang harus dikejar pemerintah adalah Rp 1.139 triliun hingga akhir tahun.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasetadi mengungkapkan, lambatnya penerimaan pajak tahun ini tidak bisa lepas dari perlambatan ekonomi dunia. Merosotnya kinerja ekspor dan impor berimbas pada turunnya penerimaan dari PPh. Meski begitu, Ken menegaskan, pihaknya akan tetap berupaya mengejar target pajak pada akhir tahun. "Kita tetap kerja seperti biasa. Kerja, kerja," katanya. rep: Debbie Sutrisno, ed: Citra Listya Rini