JAKARTA -- Pemerintah mengakui, tantangan ekonomi yang masih menghantui 2017 adalah tiga ganjalan mendasar, yakni kemiskinan, kesenjangan, dan pengangguran. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, tiga hal tersebut adalah indikator sebuah negara mampu menjalankan ekonominya sehingga masyarakatnya sejahtera.
Ditilik dari sisi kesenjangan, rasio Gini Indonesia masih bertahan di kisaran 0,40 persen. Artinya, lanjut Sri, sebagian besar dari ekonomi di Indonesia hanya bisa dinikmati oleh segelintir golongan masyarakat. Kesenjangan ekonomi yang tergolong masih cukup besar ini, menurut Sri, menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mewujudkan ekonomi yang inklusif.
Di sisi kemiskinan, Sri memaparkan, terdapat tren penurunan selama 10 tahun belakangan. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2016 sebanyak 27,76 juta jiwa atau 10,70 persen dari total penduduk. Sebagai pembanding, tahun 2006 silam jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,3 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk.
Sri menilai, meski ada tren penurunan setiap tahunnya, ada perlambatan laju penurunannya. "Artinya, kemampuan kita mendesain ekonomi untuk turunkan kemiskinan harus dinaikkan," ujar Sri dalam Rapat Kerja Nasional Kementerian Keuangan, Selasa (10/1).
Di sisi pengangguran masyarakat, Sri juga mengaku berupaya menekan angkanya yang setiap tahun berkorelasi dengan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Menurut Sri, setiap 1,0 persen pertumbuhan ekonomi harus menurunkan kemiskinan dan membuka lapangan kerja yang lebih luas.
Sri menambahkan, untuk mendorong perbaikan atas tiga indikator di atas, pemerintah mengupayakan pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang kredibel. Ia menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbilang lebih baik daripada negara-negara berkembang lainnya. Salah satu yang menjadi penjaga angka pertumbuhan, menurut Sri, adalah diversifikasi pendorong pertumbuhan.
Ia memisalkan, negara-negara berkembang seperti Meksiko dan Kolombia di Amerika Latin mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya lantaran ekonominya tak hanya bertumpu pada satu sektor. Lain halnya dengan Angola, Nigeria, dan sejumlah negara berkembang lain yang hanya bertumpu pada satu sektor, yakni minyak dan gas bumi. Artinya, ketika satu sektor tersebut ambruk, pertumbuhan ikut tertekan.
"Indonesia punya potensi besar. Penerimaan negara gambarkan sesuatu yang sifatnya terbatas. Pajak terhadap PDB hanya 10 persen atau hampir 11 persen. Indonesia termasuk yang sangat kecil tax ratio-nya. Orang katakan itu jelek, atau potensi, jadi bagus ada. Saya ingin kita implementasikan keduanya, perlu menaikkan kemampuan RI meningkatkan penerimaan karena ini jadi pertaruhan bagi RI untuk maju," ujar Sri.
Peneliti senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah ketika investasi yang dilakukan di dalam negeri mampu menjadi stimulus untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, menurut dia, peningkatan investasi masih belum cukup.
Eko menilai laju investasi harus efisien. "Investasi semakin tidak efisien karena rendahnya kapasitas berinovasi dan kesiapan berteknologi. Padahal, ini elemen kunci untuk menghasilkan output dan pertumbuhan yang lebih tinggi," katanya.
Indef mencatat, setiap 1,0 persen pertumbuhan ekonomi pada 2016 hanya mampu menyerap 110 ribu tenaga kerja. Kondisi saat ini jauh menurun dibanding dekade lalu yang mencatatkan setiap kenaikan 1,0 persen pertumbuhan ekonomi mampu membuka 200 ribu lapangan kerja baru.
"Ternyata, seiring dengan penurunan pertumbuhan ekonomi yang kita alami, ketimpangan semakin melebar. Memang ada sedikit pengurangan," katanya.
Eko mendesak pemerintah lebih melirik sektor pertanian. Alasannya, sektor ini memiliki kontribusi cukup besar terhadap PDB. Belum lagi, serapan tenaga kerja di sektor ini masih tergolong besar. Artinya, bila sektor ini bisa didorong lebih bertumbuh maka implikasinya juga akan besar. rep: Sapto Andika Candra, ed: Satya Festiani