Kamis 31 Mar 2016 18:00 WIB

Jingga, Warna-warni Difabel Netra

Red:

Dunia Surya Jingga (Hifzane Bob) seakan hancur. Akibat dihajar preman sekolah, kedua mata pemuda yang semula mengalami kekurangan (low vision) itu menjadi tak bisa melihat sama sekali. Padahal, sulung dari dua bersaudara yang masih duduk di bangku SMA tersebut adalah seorang drumer. Kelak, ia ingin menjadi musisi besar yang manggung ke seluruh dunia dan ditonton banyak orang.

Kehilangan penglihatan membuat Jingga terpuruk. Keterpurukan itu ditambah sikap ayahnya, Ireng (Ray Sahetapy), yang mengingkari dan tak mau menerima kenyataan bahwa anaknya tak lagi mampu melihat. Setiap hari, Jingga harus mendengar pertengkaran ayahnya dan sang ibunda, Fusia (Keke Soeryokusumo). Violet, adik perempuan Jingga satu-satunya, menangis tanpa henti melihat kondisi kakak dan perselisihan orang tuanya.

Semua itu membuat Jingga tak tahan lagi dan sempat mencoba bunuh diri. Beruntung, percobaan bunuh diri itu gagal dan Jingga bisa diselamatkan. Dalam keterdesakan, Ireng akhirnya menyadari kondisi putranya dan membiarkan Fusia menyekolahkan Jingga di sekolah luar biasa.

Fusia memperkenalkan Jingga pada Kirmizi, kepala SLB yang menasihati Jingga untuk move on dengan hidupnya. Merasa dikuatkan, akhirnya Jingga bertekad kembali tegar dan mau menuntut ilmu setinggi-tingginya agar bisa membahagiakan ibunya.

Setelah mulai terbiasa dengan kondisinya, Jingga bisa dengan mudah membaur dengan teman-teman sesama difabel netra. Hari pertama sekolah, ia sudah mendapat tiga kawan baik, yakni Marun (Qausar Harta Yudana), Magenta (Aufa Dien Assegaf), dan Nila (Hany Valery).

Dari mereka, Jingga tahu bahwa kebutaan memiliki banyak faktor penyebab. Marun, misalnya, yang hampir seluruh keluarganya menjadi difabel netra karena keracunan limbah pabrik. Nila, satu-satunya perempuan dalam kelompok itu, tak bisa melihat sejak lahir karena ibunya terserang virus rubela saat hamil. Sedangkan, Magenta menjadi difabel karena malapraktik dan overdosis obat.

Kesamaan kondisi dan minat bermusik yang sama, membuat keempatnya segera menjadi empat sekawan yang akrab. Mereka membentuk band Merah yang dibantu pula oleh musisi lokal Bandung bernama Kang Gory (Isa Raja Loebis).

Dunia Surya Jingga kembali sempurna dengan tiga kawan yang kembali menyalakan semangatnya dan mewadahi mimpinya menjadi musisi. Apalagi, benih-benih cinta antara ia dan Nila yang mulai tumbuh semakin mewarnai kehidupannya.

Akan tetapi, tanpa disadari Jingga, ada cinta segitiga di sana. Ternyata, Marun sejak lama menaruh hati kepada Nila. Semuanya memuncak ketika Marun berubah kasar kepada semua kelompok. Ternyata, bukan hanya kesal pada Jingga, Marun juga menyimpan rahasia besar yang sengaja ditutupinya rapat-rapat.

Jika disimak, hampir seluruh tokoh dalam film drama besutan Lola Amaria Production yang dirilis pada akhir Februari 2016 ini mengadaptasi nama warna. Mulai dari Jingga, Marun, Nila, Magenta, hingga Ireng.

Lola Amaria, sang produser, sutradara, sekaligus penulis naskah ingin menunjukkan bahwa dunia para difabel netra adalah dunia yang penuh warna. Mereka sama seperti orang awas (sebutan untuk dapat melihat), yang bisa marah, senang, sedih, jatuh cinta, dan menjumpai friksi-friksi dalam hidup.

Lola membuktikan totalitasnya dalam membuat film dengan terlebih dahulu melakukan riset mengenai difabel, khususnya difabel netra. Ia bahkan mengharuskan empat pemain utama agar menjadi difabel netra.

Dari segi cerita, skenario film Jingga terbilang cukup ringan ala remaja meski menyentuh dengan detail kisah dunia para difabel netra. Lewat film itu, ada banyak pengetahuan baru tentang aktivitas sehari-hari mereka yang dihadirkan Lola Amaria.

Misalnya, difabel netra dapat berkegiatan layaknya orang normal lainnya, seperti makan, mengenakan baju, menyeberang jalan, naik angkot, memakai ponsel dan laptop, bahkan berbelanja tanpa bantuan. Mereka juga bisa melakukan banyak hobi, seperti bermusik dan berolahraga.

Kendati begitu, Lola tampaknya lebih suka membuat akhir cerita yang menggantung. Selain itu, satu adegan romantis justru terasa berlebihan karena terkesan kurang pas dan antiklimaks. Agaknya sang sutradara cenderung mengajak penonton meresapi filosofi bahwa hidup terus berjalan. Ada yang datang, ada yang pergi. Sebagian bertahan, yang lainnya hilang.  c34 ed: Endah Hapsari

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement