"Estamos tocando tiki-taka tiki-taka (Kita bermain tiki-taka, tiki-taka)," begitu teriak almarhum Andres Montes saat mengomentari laga Spanyol kontra Tunisia di Piala Dunia 2006. Gara-gara komentar Andres di televisi itulah istilah tiki-taka kemudian masyhur sejalan dengan taktik umpan-umpan pendek rapat dan cepat skuat La Furia Roja menguasai dunia.
Baru pada Piala Eropa 2008 taktik tiki-taka mengawali suksesnya dan kemudian menjadi akar dari dominasi Spanyol di dunia pada rentang 2008-2012. Bicara tiki-taka, artinya tidak boleh mengenyampingkan peran dan sumbangsih Barcelona. Klub Katalan ini menjadi kawah candradimuka para pemain yang paham dan fasih menginterpretasi frasa tiki-taka ke lapangan hijau.
Dalam sejarahnya, taktik bermain menyerang dan bertahan secara bersama dengan tingkat konsentrasi tinggi dalam mendominasi penguasaan bola, bahkan telah diaplikasikan pada era kepelatihan Johan Cryuff sejak akhir 1980-an. Barulah saat Barca diasuh Joseph 'Pep' Guardiola, mereka benar-benar merebut perhatian dunia dengan Andres Iniesta dan Xavi Hernandez menjadi duo dirigen orkestra tiki-taka di lapangan tengah El Barca. Begitupun di tim nasional, dua gelandang genius ini menjadi jenderalnya.
Dikutip AFP, Diego Maradona belum lama ini menyebut tiki-taka akan menjadi sebuah tactical relic akibat dominasinya. Dan tampaknya, era tiki-taka sedang memasuki masa senja kalanya di Piala Dunia 2014 ini. Iker Casillas dan kawan-kawan sudah dua kali kalah dari Belanda dan Cile di babak penyisihan grup setelah lawan-lawan mereka sukses menerapkan kontra taktik tiki-taka. Spanyol menjadi negara kelima dalam sejarah Piala Dunia yang gugur di babak penyisihan saat menyandang predikat juara bertahan.
Menyusul menurunnya performa Barca yang berakhir dengan nirgelar pada musim terakhirnya, belum banyak yang percaya itu pun akan berpengaruh terhadap skuat Matador. Termasuk gelandang David Silva kepada the Independent sebelum Piala Dunia 2014 yang dengan yakinnya berkata, "Mengapa kami harus berubah? Kami telah menjadi yang terbaik dengan gaya (tiki-taka) ini. Tidak perlu menggantinya."
Tapi, Silva telah mengabaikan bertambahnya usia para penggawa termasuk Iniesta (30 tahun) dan Xavi (34). Untuk nama yang terakhir bahkan belakangan telah kerap dibekap cedera meski masih dipaksa pelatih Vicente del Bosque menjadi pemain inti. Sementara nama-nama seperti Koke atau Santi Cazorla tak cukup mampu menggantikan peran dua jagoan Barca. "Saya tidak pernah membayangkan, kami akan meninggalkan turnamen setelah fase penyisihan pertama," kata Del Bosque.
Setelah sukses melumat sang juara bertahan, pelatih Cile Jorge Sampaoli meyebut era sukses tiki-taka telah berakhir. Bahkan, sebelum timnya melakoni laga kedua Grup B, Sampaoli menilai Spanyol tengah berada pada masa membayar harga dari kelelahan dan pudarnya motivasi para pemain setelah enam tahun kesuksesan. "Dalam sepak bola, semuanya akan berubah. Hari ini generasi terbaik Spanyol tidak bisa mempertahankan kesuksesan mereka karena tidak ada yang bisa abadi selamanya," kata Sampaoli.
Pelatih seperti Sampaoli, termasuk Louis van Gaal (Belanda), Diego Simeone (Atletico Madrid), Jose Mourinho (Chelsea), dan Carlo Ancelotti (Real Madrid) di antara pelatih cerdas yang selama ini meramu dan menerapkan kontra taktik dan strategi melawan tiki-taka. "Pola tiki-taka sebenarnya sangat rapuh jika lawan bisa melancarkan serangan balik cepat," kata Mourinho, dilansir Sportal.
Di Eropa, kontra taktik tiki-taka saat ini dijuluki dengan 'counter puncher'. Ketimbang memainkan pola 4-3-3 yang dibungkus dengan dominasi penguasaan bola di lapangan tengah yang belakangan dilabeli 'membosankan', 'counter puncher' mengandalkan solid dan kompaknya organisasi pertahanan sebelum pada saat yang tepat siap melancarkan serangan balik mematikan.
Konsekuensi taktik ini menjadikan pola andalan dengan lima bek di belakang (Belanda dan Cile) dengan bek atau gelandang sayap yang sesekali bertugas sebagai sprinter untuk membuat pertahanan lawan mendadak kocar-kacir.
Real Madrid pada musim terakhir menjadi bukti sukses kontra taktik ini saat menyingkirkan Barcelona di final Copa del Rey dan menghajar 5-0 Bayern Muenchen (dilatih Pep Guardiola) di babak semifinal Liga Champions. Laga semifinal leg pertama menjadi ilustrasi paling nyata saat El Real mampu menang tipis 1-0 di Santiago Bernabeu meski hanya mampu membukukan persentase penguasaan bola sebesar 36 persen.
Spanyol telah gagal menyamai rekor Brasil dan Italia, menjadi negara yang berhasil menjuarai Piala Dunia dua kali berturut-turut. Namun, apakah era tiki-taka memang sepenuhnya telah usai? Apakah Del Bosque akan merombak habis skuatnya dan menerapkan taktik baru untuk timnya?
Laga pertama Spanyol di babak kualifikasi Piala Eropa 2018 melawan Makedonia pada September 2014 mendatang mungkin bisa menjadi jawaban apakah dunia memang sudah harus mengucapkan selamat tinggal pada era dominasi tiki-taka. rep:satria kartika yudha/c79 ed: andri saubani