Senin 08 Sep 2014 12:00 WIB

Omah Munir dan Generasi Melawan Lupa

Red:

Ahad (7/9) sore, keriuhan yang tak biasa terjadi di sebuah rumah dua lantai di Jalan Bukit Berbunga, Kota Batu, Jawa Timur. Tenda, kursi, serta panggung tertata di halaman bak dekorasi pesta pernikahan. Tetapi, orang-orang di sekitar rumah itu tahu tidak ada pernikahan yang sedang diresepsikan.

Rumah tua di pinggir jalan itu milik Munir Said Thalib, pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah almarhum. Sepuluh tahun lalu, 7 September 2004, pria kelahiran Malang 1965 itu ditemukan tak bernyawa dalam sebuah penerbangan Jakarta-Amsterdam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Wihdan

Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) melukis stensil wajah munir saat peringatan 10 tahun kasus pembunuhan aktivis HAM Munir saat hari bebas kendaraan bermotor di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (7/9).

Persis satu dekade setelah Munir berpulang, para pegiat HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, dan banyak kalangan lainnya memperingati hari bersejarah tersebut. Rumah tua itu tak lagi menjadi hunian sejak Istri Munir, Suciwati, merelakannya menjadi ruang publik pada Desember 2013. Rumah itu kini bernama Omah Munir. Sebuah museum kecil bertema HAM yang secara khusus didedikasikan untuk mengenang sosok dan pemikiran Munir.

"Omah" dalam bahasa Jawa berarti rumah. "Kalau namanya museum, terkesannya tua dan dingin. Kalau omah itu kan jadi terasa seperti tempat tinggal yang hidup," ujar Nong Darol Mahmada, salah satu pegiat HAM.

Omah Munir menyajikan berbagai informasi tentang Munir dan isu HAM di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan Munir. Sosok Munir ditampilkan dalam berbagai media. Ada sejumlah panel poster berisi info grafik, foto, patung, serta video. Selain itu, dipajang juga berbagai benda memorabilia, dari mulai sepatu, jam tangan, hingga rompi antipeluru.

Dibandingkan peringatan serupa di sejumlah kota, baik di dalam maupun luar negeri, acara mengenang satu dekade Munir di kediamannya terbilang istimewa. Cukup banyak pesohor dari Jakarta menyempatkan hadir. Sebut saja budayawan Butet Kertaradjasa, duet sineas Riri Riza dan Mira Lesmana, penyanyi Glenn Fredly, serta sejumlah selebritas lainnya.

"Munir Ada dan Berlipat Ganda", begitu bunyi tema kegiatan tersebut, seperti tertulis dalam spanduk yang menjadi latar panggung. "Jika Anda bertanya siapa itu Munir, pulang dan bercerminlah. Anda adalah Munir. Anda yang memperuangkan kehidupan adalah Munir," ujar Vincent, pegiat HAM yang hari itu didaulat menjadi pemandu acara.

Kampanye "melawan lupa" yang terus digaungkan rekan-rekan Munir dan para pegiat HAM di Tanah Air terbukti tak sia-sia. Di salah satu sudut di Omah Munir, Republika bertemu Zeze dan Bai. Keduanya adalah mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, kampus almamater Munir.

Sebelum memasuki bangku kuliah, Zeze mengaku tak mengenal sama sekali Munir. "Pertama kali tahu Munir itu tahun 2012. Waktu itu banyak mahasiswa berdemonstrasi di jalan. Oh, baru saya tahu, mereka memperingati meninggalnya Munir," ujar dia.

Sejak tahu tentang Munir, Zeze tak lantas menjadi aktivis atau demonstran. Dia malah mengaku tidak terlalu simpatik dengan demonstrasi. Zeze tetap hanya mahasiswa biasa yang belajar, pulang, dan main bersama kawan-kawannya. Meski begitu, perempuan berkerudung itu mengaku, sosok Munir adalah teladan yang bisa menjadi contoh.

"Ya, kita harus peduli sama sesama. Misal kalau teman saya perlu bantuan, saya akan mengusahakan untuk membantu," ujar dia sambil melirik kawannya yang menyungging senyum.

Ahad sore itu, Omah Munir didominasi wajah muda-mudi. Jumlahnya ratusan, hingga berjubel tak tertampung kursi dan tenda. Di dalam, museum kecil Omah Munir juga disesaki pengunjung. Sebagian sibuk mengambil gambar berlatar belakang replika, patung, dan foto-foto Munir. Generasi muda yang telah berkenalan dengan sosok dan pemikiran Munir.

Sementara itu, Suciwati, istri almarhum Munir, tampak sibuk hilir mudik menyapa orang-orang.  Seperti biasa, raut wajahnya selalu emosional jika diminta berpendapat soal tragedi yang merenggut suaminya 10 tahun silam. "Boleh saja pemerintah tidak peduli, tapi masih banyak rakyat yang akan menyuarakan ini. Tak hanya di di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Kami akan menagih sampai kapan pun."

Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, pemerintah tidak memiliki kemauan politik untuk menuntaskan penegakan hukum kasus terbunuhnya Munir. "Masalahnya memang (pemerintah) tidak ada kemauan," ujar Haris.

Padahal, menurut Haris, bukti-bukti dan bahan menyangkut penegakan hukum kasus Munir sudah ada. Perangkat mekanisme hukum pidana juga tersedia. "(Bukan) sekadar pelaku lapangan Pollycarpus," ungkapnya.

Di Kota Semarang, 10 tahun tragedi meninggalnya Munir diperingati di Jalan Pahlawan. Sejumlah aktivis dan masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Semarang menuntut pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat melanjutkan pengusutan kasus pembunuhan Munir. "Jokowi harus menuntaskan kasus kematian Munir," kata Koordinator aksi, Rukardi.

Juru bicara Koalisi Semarang untuk Munir, Anton Sudibyo, menambahkan, pelaksanaan kegiatan peringatan 10 tahun meninggalnya Munir bagian dari bentuk sosialisasi kepada warga Kota Semarang.

Koalisi juga menggelar aksi teatrikal bertajuk "Mati Munir Satu Tumbuh Munir Seribu", pameran karikatur tentang Munir dan Cartoon on The Street, menggambar kartun tentang Munir sepanjang 500 meter.

Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan mengingatkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) agar serius mengungkap kasus kematian aktivis HAM Munir Said Thalib. Menurut Trimedya, kasus pembunuhan Munir terkatung-katung selama 10 tahun karena tidak ada keseriusan dari pemerintah sekarang. "Tidak ada kesungguhan dari pemerintah (menuntaskan kasus Munir)," kata Trimedya.

Trimedya menyatakan, kendala utama pengungkapan kasus Munir adalah ketiadaan pengadilan HAM ad hoc. Padahal, pengadilan HAM ad hoc sangat penting untuk menghilangkan hambatan dalam menyeret aktor-aktor intelektual yang diduga terlibat pembunuhan Munir. "Sehingga tidak ada lagi jaksa berkelit untuk memeriksa seseorang," ujar Trimedya.

PDI Perjuangan optimistis Jokowi-JK akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk kasus pembunuhan Munir. Dia memperkirakan pengadilan HAM ad hoc akan dibentuk setidaknya setahun setelah pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden. "Pak Jokowi pasti akan berkomitmen terhadap penegakan hukum," kata Trimedya. rep:c54/c71/muhammad akbar wijaya ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement