Foto: Republika/ Wihdan
JAKARTA- Politikus Golkar Ade Komarudin mendadak diberhentikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dari jabatannya sebagai ketua DPR berjalan pada Rabu (30/11). Ade dicopot sebagai konsekuensi akumulasi sanksi atas dua kasus dugaan pelanggaran etika terkait yang bersangkutan yang dilaporkan ke MKD.
Putusan itu diambil beberapa jam sebelum rapat paripurna penetapan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai ketua DPR untuk menggantikan Akom, sapaan akrab Ade Komarudin. Keputusan MKD kemarin diambil dalam sidang pleno internal yang berlangsung sejak kemarin pagi.
"Sehingga diputuskan terhitung sejak hari Rabu, 30 November 2016, yang terhormat Saudara Ade Komarudin dari Fraksi Golkar dinyatakan berhenti dari jabatan ketua DPR RI masa keanggotaan tahun 2014-2019," kata Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad, di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin. Anggota Fraksi Gerindra itu menyatakan, keputusan bersifat final dan mengikat.
Salah satu kasus terkait Akom yang dilaporankan adalah soal dugaan penyalahgunaan wewenang memindahkan mitra Komisi VI ke Komisi XI terkait pembahasan Penyertaan Modal Negara (PMN) BUMN. Komisi XI membidangi keuangan, perencanaan pembangunan, perbankan, dan lembaga serta rencana penyusunan RAPBN yang bakal meliputi PMN BUMN. Kendati demikian, berdasarkan nomenklatur di DPR, Komisi VI-lah yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM, dan BUMN.
Laporan tersebut dilayangkan sebanyak 36 anggota Komisi VI pada Oktober lalu. Atas laporan tersebut, Akom sempat berkomentar bahwa soal PMN BUMN tak bisa hanya dibahas di Komisi VI karena meliputi wilayah kerja komisi-komisi lain.
Perkara kedua, diajukan oleh anggota-anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR soal RUU Pertembakauan. Dalam kasus ini, Ade Komarudin dituduh menunda sidang paripurna untuk pengesahan undang-undang yang sudah melalui tahap harmonisasi itu.
RUU Pertembakauan sempat memunculkan keberatan dari pegiat antirokok dan Kementerian Kesehatan karena dinilai tak sejalan dengan agenda pengendalian produk-produk tembakau. Meski begitu, kalangan industri tembakau dan pihak-pihak yang mengklaim sebagai perwakilan petani tembakau mendorong RUU tersebut.
Baleg DPR menyepakati RUU Pertembakauan agar dibawa ke rapat paripurna untuk kemudian menjadi RUU inisiatif DPR sejak Juli lalu. Kendati demikian, hingga akhir November ini, RUU Pertembakauan tak kunjung dibawa ke rapat paripurna.
Hal tersebut mendapat kecaman dari rekan-rekan sefraksi Akom yang getol mendorong RUU Pertembakauan, seperti M Misbakhun dan Firman Subagyo. Mereka menilai, penundaan pembahasan RUU Pertembakauan dalam paripurna adalah kesengajaan pimpinan DPR, terutama Ade Komarudin.
Dalam kasus pemindahan mitra kerja, Akom diganjar hukuman ringan dan tertulis. Sedangkan, dalam kasus RUU Pertembakauan, Akom diganjar hukuman sedang.
Terkait dua kasus yang dilaporkan, sebenarnya Akom itu tidak pernah sekali pun menjalani sidang. Yang bersangkutan selalu berhalangan hadir dalam dua kali sidang yang dijadwalkan MKD.
Bagaimanapun, MKD tetap memutuskan untuk memberhentikan Akom dari jabatannya sebagai ketua DPR. "Memang yang bersangkutan minta penundaan (sidang), tapi tidak ada kepastian kapan bisa hadiri sidang di MKD," kata Sufmi. Menurutnya, keputusan harus segera diambil karena MKD memiliki banyak kasus yang mesti diputuskan.
Selain pemecatan Akom, MKD juga memutuskan bahwa pembahasan soal PMN BUMN dikembalikan ke Komisi VI. Termasuk di dalamnya kegiatan kinerja operasional, kinerja keuangan, serta privatisasi penyertaan modal negara dan korporasi.
Sedangkan, soal RUU Pertembakauan, MKD memerintahkan pimpinan DPR untuk menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertembakauan dalam Rapat Paripurna DPR secepatnya untuk mendapatkan persetujuan. "Demikian amar putusan dari Mahkamah Kehormatan Dewan," tutup Dasco.
Hingga kemarin malam, Ade Komarudin belum berhasil dihubungi Republika untuk dimintai komentar soal pemecatan dirinya. Orang dekat Ade Komarudin mengatakan, yang bersangkutan mungkin tengah berada di luar kota.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mempertanyakan keputusan DPR memberhentikan Ade Komarudin tersebut. Anggota Komisi II itu menuding keputusan MKD tersebut memiliki agenda dan target tertentu.
Apalagi, pada hari yang sama ada rapat paripurna dengan agenda pergantian ketua DPR. "Sungguh disayangkan. PAN dalam posisi mengambil keputusan itu MKD berdiri untuk semua anggota DPR, tidak boleh dia terkesan punya tunggangan politik, agenda sendiri, target-target tertentu, kalau terbukti itu maka citra MKD akan tergerus," ujar Yandri mengeluh, di Kompleks Parlemen Senayan.
Selain itu, kata Yandri, keputusan pemberhentian Ade Komarudin tersebut dinilai terlalu terburu-buru, bahkan terkesan ada percepatan pergantian ketua DPR RI. Padahal, persidangan kasusnya di MKD, Akom belum diberi kesempatan untuk memberikan keterangan.
Di lain pihak, Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Idrus Marham menegaskan tidak ada upaya-upaya yang dilakukan DPP Partai Golkar untuk mempercepat pergantian Ade Komarudin. "Tidak ada proses percepatan, tidak ada sama sekali. Ini berjalan biasa saja, ini proses kenegaraan, proses yang ada di DPR," katanya di Kompleks Parlemen Senayan.
Idrus mengklaim bahwa Golkar selalu mengedepankan kepentingan yang lebih besar dibandingkan kepentingan-kepentingan pribadi. Menurutnya, Golkar berpandangan bahwa kepentingan bangsa, kepentingan DPR, kepentingan kolektif bersama harus ditempatkan dalam posisi lebih penting daripada kepentingan pribadi.
Setya Novanto yang kemarin dimuluskan menggantikan Ade Komarudin juga sedianya sempat dua kali disidangkan di MKD. Salah satunya terkait pertemuan Novanto dengan kandidat capres AS Donald Trump pada 2015. Terkait pertemuan itu, Novanto diberi sanksi ringan berupa teguran.
MKD juga menyidangkan Novanto terkait skandal pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dalam pembicaraan perpanjangan kontrak PT Freeport.
Dalam sidang kasus itu, 15 dari 17 anggota MKD menyatakan Novanto terbukti melanggar kode etik. Sebanyak sembilan anggota menyatakan Setya layak diganjar sanksi sedang, sedangkan sisanya meminta sanksi berat. Namun, karena Novanto mengundurkan diri sebelum putusan MKD diambil, sidang kasus itu tak menghasilkan pemberian sanksi.rep: Ali Mansur, Umi Nur Fadhilah antara ed: Fitriyan Zamzami