Rabu 18 Jan 2017 14:00 WIB

Menjelang Pelantikan Presiden AS ke-45 Donald Trump (bagian 2): Bayang-Bayang Kelam Trumpnomics

Red:

Memangkas persentase pajak individu dan perusahaan, mengembalikan pabrik-pabrik perusahaan ke dalam negeri, merestrukturisasi perjanjian dagang bebas, memberlakukan tarif tinggi atas impor dari negara-negara industri, mengancam perusahaan yang memproduksi di luar negeri dengan pengenaan tarif tinggi, menerapkan kebijakan-kebijakan proteksionis.

Langkah-langkah ekonomis tersebut pada masa lalu sukar dibayangkan bakal diberlakukan Pemerintah Amerika Serikat. Terlebih mengingat bahwa negara tersebut menjadi adidaya sedikit banyak melalui gelombang globalisasi dan pasar bebas. Pemerintah AS juga getol mengampanyekan keuntungan sistem ekonomi tersebut ke seluruh penjuru dunia.

Kendati demikian, kebijakan-kebijakan neoliberal yang ampuh menambah pundi-pundi para konglomerat AS sejak masa kepresidenan Ronald Reagan pada dekade 80-an ternyata juga memakan korban di negeri Paman Sam. Terlebih sejak krisis ekonomi pada 2008, kaum pekerja di AS merasa kian sukar mendapat pekerjaan yang beralih ke negeri-negeri asing.

Kepemimpinan Barack Obama pada dua periode sejak krisis dinilai belum mampu mengangkat rasa keterpurukan tersebut. Kemudian, datang Donald Trump merayu kaum pekerja di AS menjelang Pilpres AS 2016. Meski seorang miliuner, ia memanfaatkan sentimen yang dirasakan para pekerja dan menjanjikan perubahan kebijakan perekonomian yang nasionalistik.

Banyak dari kelas pekerja di AS pada akhirnya terbujuk. Kemenangan Donald Trump pada pilpres tahun lalu banyak disokong oleh keunggulan di daerah-daerah industrial AS yang kerap dijuluki 'the Rust Belt'. Wilayah-wilayah, seperti Pennsylvania, West Virginia, Ohio, Indiana, Michigan, Illinois, Iowa, Wisconsin, yang terdampak pengalihan pabrik-pabrik dari AS ke negara-negara, seperti Cina dan Meksiko.

Wilayah dan kota yang dinamakan the Rust Belt tersebut adalah korban krisis ekonomi berkelanjutan di AS sejak 1980. Terlebih sejak 2008, banyak pabrik dan industri di wilayah/kota tersebut tutup. Kemiskinan merebak di sana. Tingkat pendidikan warganya mentok di sekolah menengah atas. Jumlah populasi cenderung turun. Beberapa kota sempat selamat dengan beralih ke sektor jasa dan telekomunikasi, tetapi kota lainnya tidak.

Trump tampaknya tak main-main dengan kebijakan proteksionisnya. Baru-baru ini, Ia memperingatkan perusahaan-perusahaan mobil Jerman terkait rencana penerapan pajak impor sebesar 35 persen. Rencana ini memicu komentar tajam dari Berlin dan langsung memukul saham produsen mobil.

Dalam sebuah wawancaran dengan surat kabar Jerman Bild yang dipubllikasikan pada Senin (16/1), Trump mengkritik produsen mobil Jerman, seperti BMW, Daimler, dan Volkswagen karena gagal memprodukai lebih banyak mobil di AS. "Anda dapat memproduksi mobil untuk Amerika Serikat, tapi untuk setiap mobil yang datang ke Amerika Serikat, Anda akan membayar pajak 35 persen," kata Trump.

Pajak tersebut juga berlaku untuk mobil yang masuk dari pabrik di Meksiko. "Saya akan memberi tahu BMW jika Anda sedang membangun sebuah pabrik di Meksiko, dan berencana menjual mobil ke Amerika Serikat tanpa pajak 35 persen, Anda bisa melupakan itu," katanya menegaskan.

Seketika pernyataan Trump itu keluar, saham Volkswagen ditutup turun 2,2 persen, sementara saham BMW dan Daimler berakhir 1,5 persen lebih rendah.

Di bawah tekanan Trump untuk menghidupkan kembali industri AS, ia menekan produsen mobil yang menggunakan tarif murah di pabrik Meksiko untuk melayani pasar AS. Trump juga telah memperingatkan produsen mobil Jepang Toyota. Toyota bisa dikenakan pajak perbatasan besar jika memproduksi mobil Corolla untul pasar AS di sebuah pabrik yang direncanakan di Meksiko.

Komentar Trump terkait perusahaan mobil Jerman langsung memicu komentar tegas dari Kanselir Jerman Angela Merkel. Ia menjanjikan, tak akan tinggal diam menyikapi kebijakan Trump dan akan terus memperjuangkan pasar bebas yang telah sedemikian lama menyokong perekonomian Jerman. "Kita harus bertarung dalam peperangan ini, bahkan jika hanya untuk mempertahankan prinsip," kata Merkel berapi-api kepada para anggota Kamar Dagang Jerman di Berlin, Senin (16/1).

Indikasi-indikasi yang dikirimkan Trump tersebut membuat para ekonom dari bagian dunia lainnya khawatir. Goncangan terhadap tatanan lama yang dijanjikan melalui paket 'Trumpnomics' dipandang bakal memunculkan ketakpastian akbar.

International Monetary Fund (IMF) belakangan ikut menyuarakan kekhawatiran tersebut. Mereka mengambil sikap hati-hati terhadap kebijakan Trump yang berjanji akan mendorong stimulus fiskal AS. IMF tetap memperkirakan, janji-janji Trump bakal mendorong pertumbuhan ekonomi global pada 2017 sebesar 3,4 persen, dan untuk 2018 diperkirakan berada di angka 3,6 persen.

Laporan IMF terbaru menyatakan bahwa dampak dari kebijakan Trump merupakan ketidakpastian terbesar yang dihadapi oleh ekonomi global. Langkah-langkah Trump dinilai berpotensi melemahkan pertumbuhan ekonomi AS ataupun global. "Tingginya ketidakpastian terhadap kebijakan ekonomi AS memiliki faktor risiko ke atas maupun ke bawah," ujar Chief Economist IMF Maurice Obstfeld dilansir Bloomberg, Selasa (17/1).

Arah kebijakan ekonomi Trump yang menjanjikan adanya stimulus fiskal dan pajak yang lebih rendah memiliki sisi positif dan negatif. Menurut Maurice, sisi positif dari kebijakan tersebut, yakni dapat memicu permintaan di pasar negara berkembang.

Sedangkan sisi negatifnya, yakni dolar AS yang lebih kuat dapat memberikan beban bagi industri manufaktur dan menaikkan biaya pinjaman untuk negara-negara berkembang, yang memegang utang dolar AS.

IMF memproyeksikan perekonomian AS akan tumbuh sebesar 0.1 persen pada 2017 dan 0,4 pada 2018. Proyeksi ini merupakan yang paling masuk akal di antara berbagai skenario lainnya, tetapi asumsi lebih perinci masih akan menunggu update pada outlook April 2017 mendatang.

Ketidakpastian kebijakan ekonomi AS tersebut membuat IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 1,7 persen menjadi 0,6 persen dari perkiraan Oktober 2016. Hal ini mengacu pada rencana Trump untuk melakukan renegosiasi North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang meliputi AS, Kanada, dan Meksiko. Padahal, Meksiko telah menjadi lokomotif manufaktur dalam dua dekade terakhir.

Menurut IMF, ekonomi global bisa lebih cepat tumbuh jika stimulus di AS atau Cina menguat. Namun, pertumbuhan bisa melemah jika kedua negara tersebut melakukan proteksionisme, kondisi kontrak kredit yang melemah, dan ketegangan geopolitik.      Oleh Melisa Riska Putri, Rizky Jaramaya/reuters, ed: Fitriyan Zamzami

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement