Bunga tinggi berpotensi meningkatkan kredit macet.
JAKARTA — Bunga kredit ke sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dinilai masih relatif tinggi untuk menggenjot pertumbuhan. Karena kondisi tersebut, sektor UMKM dinilai perlu insentif bunga kredit di bawah satu persen.
Ketua Umum Paguyuban Karya Muda Mandiri, Sukrisnowati mengatakan,, jika pemerintah ingin mengembangkan sektor UMKM, bunga kredit ke sektor ini seharusnya lebih rendah daripada kredit lain. “Untuk pinjaman di bawah Rp 20 juta, sebaiknya bunga cukup di kisaran 0,5-0,6 persen,” ujarnya kepada Republika, Selasa (30/9).
Foto:Republika/Adhi Wicaksono
Penjualan produk sepatu dalam negeri di Pasar Jatinegara, Jakarta.
Bunga di bawah satu persen dinilai perlu diberikan karena rata-rata UMKM yang mengajukan kredit di bawah Rp 20 juta baru merintis usaha. Sebagai usaha yang sedang tumbuh, UMKM jangan dibebani dengan cicilan bank tinggi. “Ketimbang untuk membayar bunga bank, pendapatan usaha dapat dialokasikan untuk biaya operasional dan promosi,” kata Sukris.
Berdasarkan pengalaman Sukris, insentif bunga kredit di bawah satu persen baru diterapkan pada program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Akan tetapi, akses modal dan kredit dari CSR tersebut belum semudah pengajuan kredit ke bank. Di samping itu, informasi CSR hanya beredar di kalangan tertentu.
Selama ini, pelaku UMKM, khususnya dari anggota paguyuban, masih mengandalkan kredit perbankan. Anggota yang merupakan pengusaha batik itu memilih perbankan karena lebih mudah dijangkau dan prosedurnya tidak berbelit-belit. Sebelum mengajukan kredit, para anggota biasanya membandingkan terlebih dulu bunga antarbank.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun menilai bunga kredit yang tinggi menjadi penghambat tumbuhnya UMKM di Indonesia. Direktur Pengkajian Kebijakan dan Advokasi KPPU Taufik Ahmad mengatakan bahwa pihaknya mencatat pada 2013 suku bunga UMKM di Jambi ada yang menyentuh angka 40,19 persen. Selain itu, pada tahun yang sama suku bunga kredit di Sulawesi Tengah mencapai 33,37 persen. Angka ini, Taufik mengungkapkan, sudah terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain.
Tingginya suku bunga kredit ke sektor UMKM tersebut dinilai terjadi karena perang suku bunga deposito antarbank. Kondisi tersebut mendorong KPPU mengkaji bunga kredit perbankan. Taufik berharap bank membatasi suku bunga deposito sehingga bunga kredit bisa menurun.
Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama KPPU Mohammad Reza menambahkan, tingginya suku bunga kredit UMKM dapat mengurangi daya saing produk UMKM menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. “Jika bank mau memberikan insentifnya kepada UMKM tentu sektor ini akan lebih mudah tumbuh,” ujar Reza.
Ia mengatakan suku bunga kredit yang tinggi dapat menyebabkan pelaku UMKM tak mampu membayar kredit. Hal ini berpotensi menambah panjang daftar kredit macet dan akan membawa efek domino. “Kami harapkan dengan adanya penurunan suku bunga kredit maka mengurangi efek-efek seperti itu,” katanya.
Meski demikian, sejumlah bank besar menilai level suku bunga kredit UMKM masih wajar. Direktur UMKM PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengatakan bahwa penetapan bunga mikro harus seimbang. “Jangan sampai bunga ditekan, tapi kebutuhan lain tak terpenuhi. Harus seimbang. Penentuan bunga mikro ada skala ekonominya,” ujar Djarot.
Berdasarkan data Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), suku bunga kredit mikro BRI sebesar 19,25 persen. Djarot mengatakan, BRI akan mengkaji penurunan terlebih dahulu. Selain itu, menurutnya, tidak semua bank mampu untuk menyalurkan kredit mikro jika bunga diturunkan. rep:c88 ed: nur aini