Kiprahnya tak hanya di bidang seni beli diri, tetapi ia juga piawai berorganisasi dan produktif menulis.
Bagi pegiat pencak silat, khususnya Tapak Suci Putra Muhammadiyah, KH Djarnawi Hadikusumo merupakan tokoh kunci berdirinya perguruan pencak silat Muhammadiyah ini.
Sosok kelahiran Kampung Kauman Yogyakarta, 4 Juli 1920, ini adalah putra dari tokoh dan pahlawan nasional, Ki Bagus Hadikusumo dan Siti Fatmah.
Dari garis keturunan sang ayah, Djarnawi, begitu sapaan masa kecilnya, berasal dari keturunan keluarga RH Lurah Hasyim, seorang santri abdi dalem lurah bidang keagamaan di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Sementara, dari garis ibunya, dia termasuk keturunan RH Suhud yang juga seorang abdi dalem santri Keraton Yogyakarta. Dengan latar belakang seperti itu, berarti Djarnawi berasal dari lingkungan keluarga yang berkultur abdi dalem dan santri. Hanya, pada perkembangannya kemudian, dia lebih tumbuh menjadi seorang santri dan ulama yang disegani daripada seorang abdi dalem.
Djarnawi mengawali studinya di Sekolah Bustanul Athfal Muhammadiyah di Kauman. Dia meneruskan ke jenjang berikutnya, yaitu ke Standaardschool Muhammadiyah dan Kweekschool Muhammadiyah. Pada 1935, Kweekschool Muhammadiyah diubah menjadi Madrasah Mu`allimin Muhammadiyah yang sekaligus menjadi tempat pendidik an formal terakhir bagi Djarnawi Ha dikusumo.
Sejak remaja, ia telah dididik oleh ulama besar Muhammadiyah, seperti KH Mas Mansur, KH Faried Ma`ruf, KH Abdul Kahar Mudzakir, KH Siradj Dahlan, dan KH Rasyidi. Ketika bertugas di Sumatra, dia juga sempat berguru kepada Buya Hamka dan Buya Zainal Arifin Abbas.
Lulus dari Mu'allimin Yogyakarta, Djarnawi kemudian ditugaskan ber dak wah dan menjadi guru agama Islam dan juru dakwah pada sekolah Muhammadiyah di daerah Perkebunan Merbau, Medan, Sumatra Utara.
Dari daerah perkebunan Mer bau inilah aktivitas organisasi Muham madiyah di bermula. Pada 1938 sampai 1942, dia dipercaya menjadi kepala sekolah Muhammadiyah di Medan.
Selanjutnya, sejak 1944 sampai 1949, dia dipercaya untuk menjadi kepala sekolah di sekolah Muhammadiyah Tebingtinggi hingga September 1949 sebelum akhirnya Djarnawi kembali ke Yogyakarta.
Aktivitas Djarnawi di dakwah dan organisasi Muhammadiyah meningkat setelah dia pulang ke Yogyakarta pada 1949. Saat itu, dia mulai tercatat sebagai salah seorang anggota Majelis Tabligh Pengurus Pusat Muhammadiyah hingga 1962. Pada Muktamar Muhammadiyah 1967 ke-36 di Bandung, ia terpilih seba gai sebagai ketua III Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Kiprahnya dalam mengembangkan perguruan silat Muhammadiyah ia mulai sejak 1963. Sebagai tokoh utama pendirian perguruan silat Tapak Suci Putra Muhammadiyah, ia memberi dukungan besar memajukan gerakan Tapak Suci Muhammadiyah.
Pada kepengurusan periode pertama, KH Djarnawi didudukkan sebagai pelindung. Selanjutnya, sejak 1966 sampai 1991, ia dipilih sebagai ketua umum lembaga perguruan pencak silat milik Muhammadiyah itu.Kepiawaiannya dalam ilmu bela diri itu ia peroleh sejak usia muda di Kampung Kauman meski Tapak Suci belum berdiri. Selain itu, ketika bermukim di Sumatra, dia sempat berguru ilmu silat kepada Sutan Chaniago dan Sutan Makmun, dua orang pendekar yang memiliki nama besar di wilayah Sumatra Utara.
Politik
Dalam bidang politik, Djarnawi pernah men jabat sebagai ang gota MPRS/DPRGR, da ri 1966 sampai 1971. Da lam kurun waktu itu, tepatnya Februari 1968, berdiri Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ia diper caya memegang tampuk ke pe mimpinan sebagai ketua umum Parmusi sampai November 1968.Tak hanya aktif berorganisasi, Djar nawi juga penulis produktif.
Ia menulis sekira 20 karya tulis, di samping sejumlah tulisan lepas yang tersebar di berbagai media cetak. Buah pemikirannya itu setidaknya menyentuh lima bidang, yakni keislaman, sastra, Kristologi, seja rah, dan pendidikan.
Keislaman, sastra, dan sejarah mendo minasi karya-karyanya.Ia juga dikenal mahir di dunia seni.Lagu berjudul "Sang Surya" adalah karya ciptaannya yang sampai sekarang ditetapkan menjadi mars Muhammadiyah.
Djarnawi wafat pada 26 Oktober 1993, tepat di usia 73 tahun, meninggalkan seorang istri, yaitu Sri Rahayu, dan tujuh putra. rep:amri amrullah ed: nashih nashrullah