Sanksi diberlakukan untuk menegakkan hukum.
Makanan menjadi bagian penting dalam Islam sebab makanan akan memengaruhi fisik dan perilaku manusia. Islam mengatur Muslim untuk memakan makanan halal dan menghindari makanan haram dan meragukan.
Aturan dasar mengenai makanan dalam Islam semakin jelas dalam risalah yang dibawa Rasulullah SAW. Aturan ini berlaku tak hanya sebagai bagian ajaran agama, tapi juga sistem negara, terutama setelah Islam memiliki entitas negara kota di Madinah.
Lesley Stone dalam A Contextual Introduction to Islamic Food Res trictions menulis, catatan hadis menun jukkan Muhammad SAW menyembelih hewan dengan terlebih dulu menyebut nama Allah SWT. Ini merupakan bentuk dari upaya memberikan jaminan halal terhadap daging yang akan dikonsumsi.
Foto:Tahta Aidilla/Republika.
Petugas sedang mensajikan makanan di resto Bebek Kaleyo, Jakarta di Jakarta, Kamis (6/5).
Inilah yang membuat daging hewan halal menjadi halal juga dimakan. Alat penyembelihan berupa pisau yang sangat tajam juga diharuskan untuk menghindari penyiksaan terhadap hewan karena mati kesakitan.
Mengutip perkataan ulama Maulana M Ali yang mengatakan penyebutan nama Allah SWT dalam penyembelihan menunjukkan seriusnya urusan menghilangkan nyawa, bahkan pada hewan meski tak membawa untung secara ekonomi. Ini juga sekaligus permohonan izin kepada Yang Maha kuasa untuk memakan makhluk hidup ciptaan-Nya dan menumbuhkan kesadaran eksistensi Tuhan.
Tak hanya soal makanan. Sejarah Islam mencatat bahwa aturan-aturan tegas dan diberlakukan untuk melindungi Muslim dari minuman yang haram dan tidak tayib. Contoh kasusnya adalah larangan meminum khamar atau minuman beralkohol. Khamar sudah dikenal masyarakat Arab sejak sebelum Islam datang.
Saat Islam datang pada abad ke- 7, segala bentuk minuman keras dari sumber dilarang dikonsumsi secara bertahap, termasuk di dalamnya sari buah yang difermentasi. Perasan sari buah segar, seperti perasan anggur dan kurma serta cuka, tetap diperbolehkan dikonsumsi.
Pelarangan sejumlah kategori ma kanan dan minuman, tulis Stone, adalah karena makanan dan minuman itu membahayakan atau merusak fisik, mental, dan spiritual pengonsumsinya.Makanan difungsikan sebagai sarana pencegahan penyakit dan bentuk kepatuhan spiritual.
"Penghentian kebiasaan meminum alkohol secara tegas dilakukan selama tiga tahun sejak Rasulullah berada di Madinah pada 622 atau 623 M," ungkap peneliti penyalahgunaan alkohol University of Arizona, Siraj Islam Mufti, dalam artikelnya "Alcoholism and Islam". Proses itu sebenarnya lebih panjang karena sudah bermula secara gradual sejak awal masa kenabian di Makkah.
Saat instruksi haram meminum minuman keras turun, Muslim Madinah segera membuang semua minuman keras yang masih mereka simpan.
Proses yang perlahan ini salah satunya untuk menekan potensi kebencian atas ajaran Islam yang melarang makanan dan minuman haram.
Minuman keras menjadi bagian kultur yang mengakar kuat di masyarakat Arab Jahiliyah, bahkan hingga masuk dalam bait-baik syair. Minuman ini diperoleh dengan memfermentasikan anggur, kurma, dan aneka biji-bijian.
Saat dakwah Islam semakin luas, pertukaran budaya, termasuk bahan dan cara mengolah makanan, terjadi. Dalam buku Food Culture and Health in Pre- Modern Muslim Societies yang diedit David Waines, terungkap bahwa ekspansi wilayah membuat Muslim mengadopsi bahan makanan dan produksinya dari wilayah baru itu. Namun, standar yang diatur Islam mengenai makanan tetap dipertahankan.
Ibnu Tamiyyah mengungkapkan, Rasulullah tidak hanya melarang meminum minuman keras, tapi juga segala kegiatan yang berkaitan dengan itu, mulai dari menjual buah untuk dijadikan minuman keras, menerima atau memberikannya sebagai hadiah, menjual serta mendistribusikannya.
Rasulullah juga tidak segan menolak undangan jamuan makan dari siapa saja yang di dalamnya menyajikan minuman keras. Pelarangan ini berlaku untuk internal komunitas Muslim dan komunitas Muslim dengan komunitas non-Muslim.
Pemberlakuan sanksi
Paulina Lewicka dalam bukunya Food and Foodways of Medieval Cairenes: Aspects of Life in an Islamic Metropolis of the Eastern Mediterranean menulis, pemberlakuan sanksi, baik moral maupun fisik, juga diterapkan.
Teguran Rasulullah, penghancuran penyimpanan minuman keras, dan penahanan oleh petugas keamanan masa khalifah merupakan sanksi yang diberikan kepada mereka yang minum minuman keras.
Empat khalifah setelah Rasulullah wafat pada 633 M juga terus melakukan upaya untuk memastikan umat Islam mengonsumsi makanan yang baik dan halal.
Ali ibn Raashid ad-Dubayyaan dalam artikelnya, "Alcoholic Beverages: Legal Punishment and Detrimental Effects", mengungkapkan, hukuman orang yang mengonsumsi minuman keras diberlakukan selama 28 tahun masa kekhalifahan empat sahabat Rasulullah.
Abu Bakar memberlakukan hukuman cambuk 40 kali untuk mereka yang kedapatan mabuk. Khalifah kedua, Umar bin Khattab, menyatakan minuman keras dan segala sesuatu yang mengacaukan kesadaran akal adalah terlarang. Ekspansi yang progresif sempat menimbulkan kekhawatiran pada Umar bin Khattab jika pasukan Muslim akan terpengaruh untuk men coba minuman keras dari wilayah yang ditaklukkan.
Karena itu, Umar bin Khattab sempat menggelar musyawarah dengan sejumlah sahabat Rasulullah untuk mengatasi ini. Selain tanggung jawab dosa yang tertera dalam Alquran, Umar bin Khattab juga memberlakukan hukuman cambuk 80 kali. Hukuman cam buk dan penolakan kesaksian mereka yang mabuk terus berlaku hingga zaman kepemimpinan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Qayyim mengungkapkan tambahan hukuman cambuk sebanyak 20 kali bisa dilakukan jika orang yang mabuk melakukannya pada Ramadhan.
Ali bin Abi Thalib melakukannya kepada an-Najasyi. Sementara, Abu Bakar Siddiq menghukum 50 cambukan, 40 hukuman utama, dan 10 cambukan tambahan karena mabuk saat Ramadhan.
Umar bin Khattab juga pernah mengusir Rabi'ah ibn Umayyah ibn Khalaf ke luar Madinah saat perjalanan menuju Khaybar. Hal serupa juga dilakukan Umar bin Khattab saat mendapati seorang yang mabuk pada Ramadhan. Namun, hukuman ini tidak berlaku umum, Umar bin Khattab menerapkannya dengan pertimbangan tertentu pada setiap pelaku.
Hukuman digunduli pernah juga dilakukan saat `Amr bin `Aas menjadi gubernur Mesir pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. `Amr bin `Aas memerintahkan penggundulan atas Abdul-Rahman bin `Umar. Ibnu `Abbas menyayangkan tindakan itu karena menggunduli kepala adalah bagian dari ibadah haji, tapi malah diubah menjadi hukuman. Berbagai bentuk hukuman lain, seperti pencabutan hak, juga pernah dilakukan.
Hukum bagi mereka yang mabuk bervariasi sesuai ijtihad pemimpin dan ulama pada zaman itu. Ibnu Taimiyah sendiri menuliskan poin dan kriteria dari penetapan variasi hukum tersebut, seperti pelanggaran hukum, kondisi pelaku, dan dampak yang ditimbulkan, menjadi pertimbangan hukuman yang dijatuhkan.
rep:fuji pratiwi ed: nashih nashrullah