Ahad 12 Oct 2014 16:45 WIB

Hanif Saha Ghafur Berpengaruh Hingga Luar Jawa

Red: operator

Kesultanan Cirebon berada dalam Islamisasi raja-raja Parahyangan di Jawa Barat. Bahkan, menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Dr Hanif Saha Ghafur, pengaruh Islamisasi tersebut hingga ke luar Pulau Jawa, melampaui prestasi Kesultanan Banten dan Sunda Kelapa. Ini terbukti, antara lain, dengan tradisi pembacaan kitab kuning yang masih mempertahankan bahasa Cirebonan. "Bahkan, sampai ke NTB," katanya. Berikut petikan lengkap perbincangan wartawan Republika Amri Amrullah dengan pemerhati budaya dan pendidikan ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Dokpri

Posisi Kesultanan Cirebon sangat strategis dalam estafet kerajaan Islam Nusantara, menurut Anda?

Posisi Kesultanan Cirebon terkait esta fet penyebaran Islam dan kerajaan Islam di Nusantara merupakan sesuatu yang mo numental. Kesultanan Cirebon merupakan salah satu kesultanan tertua di Nusantara.

Peran Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari letak geografis Cirebon sebagai kota pelabuhan penting di pesisir utara Jawa.

Kiprahnya yang strategis ini diperkuat dengan salah satu Wali Songo, Sunan Gunung Jati, yang menjadi tokoh penting Islamisasi Pulau Jawa bagian barat.

Sejauh mana kontribusi dan peran kesultanan ini dalam Islamisasi Jawa Barat?

Seperti yang saya sampaikan, peran Kesultanan Cirebon dalam proses Islamisasi Jawa dan estafet kerajaan Islam di Nusantara sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari jasa Sunan Gunung Jati. Dari Kesultanan Cirebon inilah Islamisasi raja-raja Parahyangan terjadi dan menyebar di Pulau Jawa bagian barat. Dalam dunia pesantren, pengaruh Islamisasi yang dilakukan Kesultanan Cirebon hingga kini masih bisa dirasakan, khususnya dalam pembacaan kitab kuning.

Pembacaan kitab kuning di beberapa pe santren di Jawa Tengah dan Timur bahkan masih menggunakan bahasa Jawa Cirebonan, bukan bahasa Jawa Tengah ataupun Jawa Timur.

Bahkan, sampai ke beberapa wilayah di Nusa Tenggara Barat (NTB), pembacaan kitab kuning dengan menggunakan bahasa Cirebonan pun tetap dilakukan hingga seka rang. Itu bukti bahwa Kesultanan Cirebon sangat kuat pengaruhnya dalam proses Islamisasi yang bukan hanya di Jawa Barat, bahkan hingga ke wilayah timur Pulau Jawa.

Bahkan, penetrasi penyebaran Islam me la lui Kesultanan Cirebon sampai mele wati wilayah Kesultanan Banten dan Sun da Kelapa. Padahal, bila dilihat dari sejarah nya, Kesultanan Banten lebih dulu hadir dibandingkan Kesultanan Cirebon. Namun, bila dilihat pengaruhnya, Kesultanan Cirebon memiliki pengaruh lebih besar bukan hanya di Jawa bagian barat, melainkan juga hingga ke wilayah tengah dan timur Pulau Jawa.

Intrik politik di internal kesultanan picu perpecahan dinasti ini. Bisa dijelaskan?

Perpecahan dalam internal kesultanan di Nusantara bukan hal baru. Perpecahan ini telah terjadi sejak lama dengan berbagai alasannya. Di antaranya, intrik politik, perebutan kekuasaan, lemahnya sistem regenerasi para ulama, hingga hilangnya simbol adat dan keagamaan. Menurut saya, kelemahan sistem kesultanan di Nusantara selain dari sejarah yang memaksa hilangnya peran kerajaan dalam satu negara kesatuan adalah ketidakpedulian para keturunan kerajaan mengemban amanat sebagai pengem ban adat dan pemimpin agama (panotogomo dan khalifatullah).

Kita harus berkaca seperti Jepang yang tetap memegang sistem kekaisarannya meski terjadi modernisasi dalam restorasi Meiji.

Yang saya maksud adalah bukan pada peran politik dan kekuasaan. Tapi, lebih pada peran adat dan keagamaan. Inilah lemahnya sistem regenerasi kesultanan di nusantara.

Ini diperparah dengan rendahnya sistem regenerasi sehingga raja yang menjadi sultan tidak memiliki kualitas dan kapabilitas sebagai pemimpin umat dan pengemban adat.

Di sisi lain, lemahnya kualitas regenerasi ini diperparah dengan perebutan simbol kekuasaan secara politik, ini terjadi seperti di Kesultanan Surakarta. Sistem regenerasi ini seharusnya bisa diperkuat karena sebagaimana diketahui sultan ataupun raja memiliki istri lebih dari satu sebagai selir.Munculnya berbagai keturunan sultan dari para istri ini seharusnya bisa diatur dalam sistem regenerasi yang kuat.

Karakter Islam Kesultanan Cirebon lebih kosmopolitan dibanding karakter Islam di wilayah Jawa lainnya. Menurut Anda?

Bentuk masyarakat Islam di Kesultanan Cirebon memang dianggap lebih egaliter karena inilah karakter masyarakat pantai utara Jawa (pantura) yang lebih terbuka.

Selain itu, karakter Kesultanan Cirebon memang lebih memajukan sisi keislaman dan bukan adat istiadat. Inilah ruh yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati, mengangkat nilai-nilai kebersamaan pluralitas antara pribumi dan kelompok pendatang seperti Cina Muslim.

Ini berbeda dengan karakter Kesultanan Yogyakarta yang lebih mengedepankan sisi batasan dan tata kesopanan, kesusilaan yang adi luhung. Ini membuat Kesultanan Yogyakarta memiliki struktur yang lebih elite di setiap jenjang kebangsawanan. Ini juga terlihat pada tatanan bahasa yang bisa kita lihat pada Kesultanan Yogyakarta ada tingkatan tata krama dan berbicara yang sangat halus yang digunakan di lingkungan sultan dan keluarganya. Sedangkan, hal itu tidak berlaku di Kesultanan Cirebon.

Kesultanan Cirebon tonggak sejarah kerajaan Islam di tanah Jawa. Menurut Anda?

Hal itu memang bisa dilihat dari peran Sunan Gunung Jati sebagai simbol keislaman dari sembilan wali yang ada di Pulau Jawa.

Meski akhirnya Kesultanan Cirebon tidak memiliki eksistensi sistem kesultanannya hingga kini, peran Kesultanan Cirebon seba gai kesultanan yang sukses melakukan Islamisasi lebih besar dibandingkan Kesul tanan Banten yang telah muncul sejak awal.

Selain itu, Kesultanan Cirebon ini juga bisa dikatakan sebagai simbol perekat Is lamisasi Jawa dengan khazanah kitab kuning yang masih dibacakan dengan menggunakan bahasa Cirebonan di wilayah Jawa Tengah dan Timur. Dan, memiliki peran besar Islamisasi di wilayah Jawa bagian barat hingga Banten.  ed: nashih nashrullah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement