REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--
Iqra
Setiap Muslim pasti tahu itu adalah ayat pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, seberapa banyak yang menyadari makna di balik satu kata ini?
Iqra' dalam bahasa Arab berasal dari kata qara'a, secara harfiah artinya membaca. Iqra' adalah betuk kata perintah yang berarti bacalah. Makna yang terkandung dalam kata ini adalah perintah bagi umat manusia untuk belajar, membaca, dan mencermati.
Seorang Muslim dituntut untuk senantiasa belajar, menambah ilmunya, sehingga ia akan semakin memahami ajaran-ajaran Islam yang sempurna. Seorang yang tinggi ilmunya bukanlah seorang yang nilai IQ-nya tinggi, ataupun prestasi akademisnya mentereng. Seorang yang tinggi ilmunya adalah orang yang semakin tahu, semakin rendah hati.
Marilah kita bandingkan seorang Muslim dengan non-Muslim yang sama-sama tinggi ilmunya. Seorang ilmuwan Muslim tak pernah berkata bahwa ilmu itu adalah hasil pemikirannya, melainkan ilmu Allah yang diamanahkan padanya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan umat.
Namun, seorang ilmuwan non-Muslim akan berkata bahwa itu adalah produk akalnya. Ia menyembah akalnya tanpa berpikir dari manakah akal itu dia dapatkan. Ia sombong dan mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa dirasionalkan sehingga tidak perlu ada campur tangan Tuhan dalam penciptaan. Semua murni karena ilmu. Itulah ke sombongan orang-orang berilmu yang tidak dilandasi dengan akidah yang benar.
Akan tetapi, permasalahan yang kita hadapi saat ini, khususnya di Indonesia, adalah sebaliknya. Ketika agama dija dikan tameng dari ilmu pengetahuan. Fanatisme menguasai sebagian besar warga Muslim kita. Marilah kembali pada ayat ini, Iqra'. Kita bukan diperintahkan untuk isma' (dengarlah), tetapi untuk iqra' (bacalah). Membaca ilmu, membaca ayat qauliyah (teks), dan kauniyah (kosmos)-Nya, membaca peradaban dan akhlak panutan kita.
Membacalah, maka kita akan tahu bahwa para ulama terdahulu selalu mengatakan bahwa mereka bisa jadi salah, mereka bukan yang paling tahu dan yang paling benar.
Lalu, siapalah kita menganggap bahwa kitalah yang paling benar? Siapalah kita berhak meghakimi bahwa orang lain itu salah? Iqra', dan akan hilang kebencian dari hati kita, menghapus kedengkian dan perpecahan.
Iqra' karena dengannya akan mendudukkan kita di tempat yang sepantasnya, dan menjelma menjadi seperti seuntai padi, makin berisi makin menunduk. Wallaahu a'lam.
Nisa Uzzakiyah Mahasiswa sekaligus tenaga pengajar homeschooling, tinggal di Yogyakarta
Pelajaran dari Dua Perajin Hiasan
Ada dua orang perajin, satu perajin emas dan yang satu perajin kuningan. Dengan bekalnya masing-masing, mereka berkarya. Perajin emas merasa unggul dengan modalnya.
"Apa pun bentuknya, emas tetap emas. Pokoknya mahal, bagaimanapun juga emas tetap lebih unggul. Emas kok dilawan!" ucap perajin emas.
Dia mengemas emasnya dengan malas, lemas, dan biasa-biasa saja, bahkan cenderung ceroboh, garapannya tidak halus, kusam, dan tidak menarik. Dia merasa sudah berharga mahal sehingga tak perlu berusaha lebih, sekali emas tetap emas, ucap pengrajin emas tersebut.
Sedangkan untuk perajin kuningan keterbatasan yang dia miliki dengan kuningannya. Cetak modalnya cuma kuningan, sadar betul akan keberadaannya. Dia berinovasi tiada henti agar terdepan dalam berprestasi.
Dengan sabar, dia desain dan mengemas kuningan dengan sentuhan halus dan menakjubkan, menyajikan hasil yang menarik. Menawan dan memesona sehingga terlihat sangat menakjubkan. Diminati banyak orang yang semula hanya kuningan murah menjadi "wah" dan mewah dengan sentuhan yang luar biasa.
Bagaimana akhirnya antara kedua perajin tersebut? Kuningan hasil kreativitas dan yang lebih terlihat memesona lebih banyak diminati daripada emas asli yang tanpa inovasi sama sekali dan suram. Nah, bisa diambil pelajaran, termasuk kategori manakah kita?
Kita bebas memilih cara untuk bahagia, modal pas-pasan, bahkan bisa minus pun bukan menjadikan kita untuk bermalas-malasan atau enggan untuk mengukir kreativitas dan berinovasi.
Cara kita mengemas itulah yang menjadi penilaian mahal atau murahnya suatu barang dan yang membuat kita menjadi orang teratas.
Dalam konteks beragama juga demikian. Rasulullah SAW memang mengatakan mereka yang bersyahadat akan masuk surga, tetapi semua tergantung sejauh manakah kita menjadi Muslim yang sebenarnya.
Yang penting bukan modal awalnya banyak atau sedikit, tetapi yang harus kita perhatikan adalah modal awal yang halal atau haram, serta bagaimana proses dan hasil akhirnya. Bukan the best input, melainkan the best process.
Menurut Malcolm Gladwell dalam Outliers, IQ tinggi bukan jaminan untuk sukses. Bila IQ tidak terlalu tinggi, tetapi kita melakukan usaha dan kerja keras, niscaya kita akan mampu untuk meraih kesuksesan tersebut.
Banyak juga orang yang memiliki IQ tinggi yang tidak dimanfaatkan dengan baik dan tidak pernah diasah, maka lama-kelamaan akan tumpul degan sendirinya diibaratkan seperti sebuah pisau yang tajam yang tidak pernah diasah maka lama- kelamaan pisau tersebut akan tumpul, begitu juga dengan otak manusia.
Nah, maka dari itu, kawan di manapun Anda berada, kesuksesan itu bukan disebabkan dari pintar atau bodohnya kita, kaya atau miskinnya kita, tampan, cantik, jelek itu semua sama telah dianugerahkan kemampuan yang berbeda- beda oleh Sang Pencipta dan Allah memberi kesempatan yang sama kepada setiap manusia untuk menjadi orang yang sukses. Maka, manfaat? kalah anugerah yang telah diberikan Allah kepada kita.
Yuwan Ebit Saputro Mahasiwa Ekonomi Islam semester II Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia