Pada masa jayanya, Gaza menjadi salah satu pusat berkembangnya peradaban.
Jalur Gaza. Menyebut nama wilayah di Palestina itu, pada saat ini, sungguh menggoreskan kepedihan mendalam. Betapa tidak, lebih dari seribu warga kawasan ini telah meregang nyawa akibat kebiadaban Zionis Israel. Sementara, ribuan rumah rata dengan tanah akibat serangan udara Israel yang bertubi-tubi. Pada saat yang sama, puluhan ribu warga pergi mengungsi. Alhasil, wilayah seluas 365 kilometer persegi itu kini masih terkepung dan menjadi "penjara besar" bagi sekitar 1,5 juta jiwa yang tinggal di wilayah itu.
Mendengar kata "Gaza", yang tebersit kemudian adalah praktik penjajahan, resistensi, huru-hara politik, kemiskinan, dan kerusuhan. Namun, tak banyak yang tahu bahwa pada masa lalu Gaza memiliki perjalanan sejarah dan peradaban yang mengagumkan. Karena lokasinya yang strategis, yakni sebagai penghubung benua Asia dan Afrika, ia pernah menjadi jalur penting pertukaran budaya dan peradaban. Selain itu, Gaza juga menjadi pelabuhan dagang yang penting bagi Timur dan Barat.
Dick Doughty dalam artikelnya, “Gaza: Contested Crossroad” menulis, tak ada arti khusus dari kata ''gaza'' dalam kamus Arab. Namun, selama 3.500 tahun Gaza dihuni, ia diartikan dengan kata kuat, berharga, terpilih, tujuan invasi, dan hadiah bagi raja.
Karena posisinya yang strategis, Gaza sempat menjadi sasaran invasi sejumlah negara dan bangsa, di antaranya Mesir, Babylonia, Persia, Yunani, Roma, bangsa Israel Byzantium, Arab, Seljuk, Mamluk, Turki, dan pasukan Salib. Namun, karena kekuatannya, Gaza berhasil lolos dari serangkaian invasi tersebut. Demikian disebut Gerald Butt dalam bukunya yang berjudul, Life at the Crossroads: A History of Gaza.
Dalam nationalgeographic.co.id, Gaza merupakan salah satu kota tertua di dunia. Ia berdiri dan dihuni semenjak kira-kira lima ribu tahun silam. Pada zaman perunggu, kawasan permukiman di Gaza berada di sekitar Tell es-Sakan, suatu benteng Mesir kuno di daerah Kanaan yang dibangun di sebelah selatan Kota Gaza sekarang. Karena perdagangannya dengan Mesir menurun drastis, tempat ini menurun selama zaman perunggu muda. Gaza kemudian menjadi ibu kota administrasi Mesir di Kanaan. Selama pemerintahan Raja Tuthmosis III, kota ini menjadi tempat perhentian jalur karavan Suriah-Mesir. Selama 350 tahun, Gaza dikuasai Mesir hingga akhirnya seorang Filistin mengambil alih kekuasaan ini pada abad ke-12 SM. Ia pun menjadi salah satu dari pentapolis atau lima kota utama di daerah tersebut.
Pada zaman Seleukia, Seleukos I Nicator, atau salah satu penerusnya mengganti nama Gaza menjadi Seleucia untuk mengontrol daerah sekitarnya melawan pasukan Ptolemeus. Budaya Yunani kemudian berakar di sana dan Gaza terkenal sebagai pusat pelajaran dan filsafat Helenik.
Berdasarkan hasil ulasan dalam pameran bertajuk "Gaza at the Crossroads of Civilizations" yang diselenggarakan Museum Sejarah dan Seni di Jenewa, Swiss, pada 2007, kurator pameran Marc-Andre Haldimann mengatakan, Gaza pernah menjadi pintu penghubung dunia. Sejarah juga mencatat, Gaza pada masa jayanya pernah menjadi salah satu pusat peradaban dan pengetahuan. Banyak filsuf, teolog, hingga musisi lahir dan berkarya di sana. Sungguh sesuatu yang kontras dengan kondisi Gaza saat ini.
Pada 734 SM, Raja Assyria mengambil alih wilayah Gaza dan menjadikannya perbatasan selatan. Batas ini lalu dijadikan jalan masuk Persia ke Gaza pada 539 SM. Invansi-invasi ini justru membuat perekonomian Gaza berkembang pesat sebagai pelabuhan dagang dan penghubung jalur perdagangan kertas dan bahan mentah di Palestina dari Hadramaut atau Yaman.
Ekspor dari Gaza ke Eropa sejak 5 M mendorong para teolog Eropa untuk belajar ke sana. Kehadiran Islam pada 637 M tidak membuat Gaza berhenti menjadi pusat pertemuan berbagai budaya. Bahkan pada sekitar 700 M, Gaza melahirkan seorang imam besar, yakni Muhammad Syafi'i. Gaza kemudian berpindah ke dalam penguasaan pasukan Salib pada abad ke-11. Pasukan Muslim berhasil mengambil alih Gaza hingga era Kesultanan Turki Utsmani yang menjadikannya titik perhentian utama dalam rute perjalanan haji.
Dick Doughty dalam artikelnya, “Gaza: Contested Crossroad” menulis, karena mengetahui strategisnya posisi Gaza, Nabi Muhammad SAW mengirim pasukan yang dipimpin `Amr bin al-Ash pada 634 M untuk merebut Gaza dari Kekaisaran Byzantium. `Amr bin Ash yang berhasil memetik kemenangan kemudian ditugaskan sebagai gubernur Gaza.
Pada masa dinasti Islam, Gaza menjadi titik penting jalur haji dari Afrika dan utara Gaza. Pada 1187 M, Salahuddin al-Ayyubi berhasil menguasai Gaza dari tangan pasukan Salib. Namun, ini hanya bertahan selama empat tahun sebelum pada 1191 Gaza kembali dikuasai Raja Richard. Ketika Dinasti Mamluk menguasai Gaza, yakni pada 1250-1517 M, perekonomian Gaza sangat hidup. Keberlangsungan hubungan dagang antara Mesir dan Gaza sangat dijaga. Ibnu Battutah yang sempat singgah di Gaza pada 1326 menulis, Gaza merupakan kota yang ramai. ''Sangat mudah menemukan pasar di sana,'' tulisnya.
Pada 1348, wabah penyakit melanda kota ini dan menewaskan sebagian besar penduduknya. Tak lama kemudian, tepatnya pada 1352, Gaza tertimpa banjir besar yang memorak-porandakan seluruh penjuru kota. Pada 1516, Gaza menjelma menjadi kota kecil dengan pelabuhan yang tidak aktif, bangunan-bangunan rusak, dan perdagangan menurun. Gaza kemudian masuk dalam kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani.
Setelah itu, Gaza masuk dalam wilayah British Mandate of Palestine. Pada 1930-an dan 1940-an, Gaza mengalami perkembangan besar dengan dibangunnya daerah-daerah permukiman baru di sepanjang pantai dan dataran di bagian selatan serta timur. Organisasi internasional dan kelompok misionaris membiayai sebagian besar pembangunan ini.
Gaza diduduki oleh Israel selama Perang Enam Hari pada 1967. Sejak 1970-an, terjadi konflik terus -menerus antara orang Palestina dan Israel di kota ini. Gaza menjadi pusat konfrontasi selama pergolakan itu. Akibatnya, kondisi ekonomi di kota itu terpuruk.
Saat ini, hanya tinggal beberapa bangunan bersejarah yang masih berdiri di Gaza. Di antaranya, Masjid Agung Umar dan Gereja Santo Pophyrius. Dalam sebuah penggalian, tanah Gaza menyimpan banyak bukti peradaban. Arkeolog al-Mobayed mengungkapkan, setiap melakukan penggalian, ada saja sisa peradaban yang ditemukan.
Tetap Tegak Meski Didera Sengsara
Meski berkali-kali didera invasi, Gaza tetap tegak. Kota ini tetap kaya akan jejak kebudayaan dan teknologi. Gaza pun tetap membuka jalur perdagangan dengan dunia luar. Sebagaimana ditulis Gerald Butt dalam bukunya ketika menjadi target invasi Yunani, Gaza tetap mampu membangun perpustakaan besar yang mengagumkan. Begitu pula ketika berada dalam invasi Roma, Gaza justru menerapkan sistem administrasi yang efektif.
Ketika Byzantium menduduki Gaza, Raja Eudoxia mendirikan gereja agung, sekolah bahasa, forum diskusi, dewan perwakilan, dan membangun infrastruktur yang baik. Mengutip catatan seorang pelancong Italia yang mengunjungi ke Gaza pada 570 M, Butt menyebut Gaza sebagai kota yang menyenangkan dan terkenal dengan penduduknya yang ramah. ''Dan tentu saja, kota ini kaya akan peradaban dan kebudayaan,'' tulis Butt.
Dalam bukunya, Butt juga menampik anggapan Barat soal penduduk Gaza yang digambarkan sebagai penduduk yang tidak peduli dan acuh tak acuh terhadap kebudayaan. Ia menyebut, anggapan salah tersebut kemungkinan diadopsi dari Perjanjian Lama sebagai akibat buruk dari dari perang antara Filistin dan bangsa Ibrani.
Butt menulis, bangsa Filistin asli merupakan pelaut yang datang ke pantai selatan dan timur laut Mediterania pada abad 12 SM dan mulai bermukim di Gaza pada 1175 SM. Postur tubuh mereka lebih tinggi daripada warga lokal. Mereka umumnya bekerja sebagai pandai besi yang memiliki hubungan dagang dengan Pulau Aegean.
Filistin juga mendirikan lima negara kota di sepanjang Pantai Levantine dengan Gaza sebagai ibu kotanya. Meski dicitrakan buruk oleh Perjanjian Lama, orang Filistin justru masih memiliki kedekatan kultur dengan warga asli Gaza dibandingkan kaum Semitik lokal di sana. Sayangnya, peninggalan sejarah dan budaya Gaza harus hancur selama Perang Dunia I. Pendudukan Israel pada 1967 juga berkontribusi dalam menghancurkan peninggalan penting tersebut. Maka, jelaslah bahwa pernyataan yang menyebut orang Filistin mengabaikan kebudayaan adalah mitos belaka.
Bahwasanya sejarah tak hanya sebatas cerita masa lalu yang cukup disimpan sebagai kenangan, maka sejarah peradaban Gaza selalu hangat diperbincangkan. Selalu ada keyakinan, Gaza akan mampu membangun kembali peradabannya. rep:c78 ed: wachidah handasah