Saya baru saja mengantar Zaidan (7 tahun) naik mobil jemputan sekolah saat Raissa (2,5) berteriak, “Umi, ada balon!”
Raissa mengangkat telunjuknya ke atas. Saya mengikuti telunjuk Raissa. Ya, di atap rumah kami ada sebuah balon berbentuk kuda zebra. Balon itu pasti terlepas dari genggaman pemiliknya. Jelas dia bukan milik Raissa karena saya merasa tidak membelikannya balon seperti itu.
“Oh iya, ada balon. Punya orang, Nak,” kata saya sambil mengajak Raissa masuk rumah.
“Iya, punya orang.”
Raissa terlihat kecewa. Tetapi, dia tak menolak saat saya mengajaknya masuk rumah. Siang harinya Raissa kembali teringat balon kuda zebra di luar. “Mi, liat balon, yuk!” ajaknya.
Saya menuruti kemauannya. Raissa mengambil kursi plastik kecil, menaikinya, dan berusaha meraih balon kuda zebra. “Balon itu bukan punya Raissa. Nanti kita beli, ya.” Saya cepat membujuknya begitu melihat raut muka Raissa mulai mendung hendak menangis.
Mungkin orang akan menganggap saya berlebihan. Balon tak bertuan saja tidak boleh diambil. Tapi, bagi saya ini merupakan pembelajaran buat anak-anak untuk tidak sembarangan mengambil benda yang bukan miliknya. Hal kecil yang baik jika dibiasakan mudah-mudahan menjadi kebiasaan baik sampai mereka dewasa kelak. Ketika mereka bekerja, mereka tak akan mengambil apa yang bukan hak mereka. Mudah-mudahan.
Dalam Islam, barang temuan itu harus diumumkan agar sang pemilik segera mengambilnya. Menurut ulama, haram hukumnya mengambil barang temuan dengan niat memilikinya. Batas waktu barang temuan, yakni satu tahun. Wah, balon kuda zebra itu akan nangkring lama di depan rumah untuk menggoda Raissa.
Balon kuda zebra sudah dua hari ada di atap halaman rumah. Belum ada yang mengambilnya. Saya harus segera menemukan pemiliknya. Saya yakin tak jauh, mungkin tetangga sebelah kanan atau kiri yang memiliki anak seusia Raissa.
Sore hari saat suami pulang kerja, Raissa dan Zaidan seperti biasa menyambut ayahnya pulang. Mereka menghambur ke luar, salaman, atau menanyakan oleh-oleh. Tapi, kali ini berbeda. Kata Raissa, “Ayah, ada balon, punya oang.” Zaidan meloncat-loncat berusaha menggapai balon.
Kami cuma tersenyum dan mengalihkan perhatian mereka dengan mainan yang ada di dalam rumah. Saya yakin Zaidan dan Raissa sangat ingin memiliki balon kuda zebra itu. Tapi, saya lebih yakin mereka lebih nyaman dengan mainan kepunyaan sendiri yang sudah jelas asal usulnya. Belajar berlapang hati sejak dini memang tak mudah, namun patut dicoba. ed: reiny dwinanda
Oleh Kanianingsih
Ibu dua anak, berdomisili di Tangerang, Banten