Rabu 24 Apr 2013 08:35 WIB
Muslim Myanmar

SBY: Atasi Kekerasan pada Muslim Myanmar

Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa (berdiri, kanan) mengunjungi pengungsi di salah satu penampungan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Foto: Republika/Kemlu
Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa (berdiri, kanan) mengunjungi pengungsi di salah satu penampungan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Indonesia mendesak Myanmar mengatasi kekerasan terhadap warga Muslim. Menurut Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), penyelesaian ini penting guna mencegah kekerasan serupa di kawasan. “Jika tidak, dampaknya tak bagus bagi Myanmar, bahkan Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim,” katanya dalam forum Thomson Reuters Newsmaker, Singapura, Selasa (23/4).

Berdasarkan jadwal, SBY bertandang ke Myanmar pada Rabu (24/4). Tepatnya, sebulan lebih setelah kerusuhan di Meikhtila yang menyebabkan 43 Muslim meninggal dunia. Dari Meikhtila, serangan warga Buddha terhadap Muslim dan harta bendanya bermunculan di  puluhan kota lainnya. Saat ini, Meikhtila dan kota lainnya sudah berangsur tenang.

Dalam kunjungannya, ia berencana mendorong Pemerintah Myanmar bertindak arif dan patut dalam menangani masalah tersebut. Dengan demikian, mereka dapat mencegah munculnya ketegangan dan kekerasan baru. Indonesia siap mendukung negara mitranya dalam mewujudkan situasi damai. SBY menyatakan, tantangan di Myanmar adalah ketegangan komunal yang dihadapi etnis Rohingya.

Pada Senin (22/4), Human Rights Watch (HRW), organisasi HAM yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS), merilis laporan bahwa pemerintah terlibat dalam pembersihan etnis Rohingya. Itu terjadi saat serangan pada Juni dan Oktober 2012 di Negara Bagian Rakhine. Sebanyak 110 orang meninggal dan 120 ribu terpaksa mengungsi dan mayoritas dari mereka adalah Muslim.

Ribuan warga lainnya eksodus keluar Rakhine dengan menggunakan perahu. Perjalanan mereka berakhir di negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. SBY yakin mampu membujuk Presiden Thein Sein. Indonesia sudah lama menjalin hubungan dengan junta militer untuk mendorong mereka melakukan demokratisasi.

Dengan demikian, jelas dia, Myanmar tak lagi memperoleh sanksi berupa embargo. Para pemimpin dunia, jelas dia, sekarang berdatangan ke Myanmar karena mereka melihat negara itu sudah menjalankan perubahan. “Saya ke sana untuk mendorong proses demokratisasi, pembangunan bangsa, penegakan hukum, dan HAM.”

Dalam pertemuan di Luxembourg, Senin (22/4), Uni Eropa (UE) sepakat mencabut sanksi atas Myanmar. Tapi, embargo senjata tetap berlaku. Pencabutan sanksi memberikan kejelasan bagi perusahaan-perusahaan Eropa berinvestasi di sana. “Merespons perubahan dan diharapkan terus berlangsung, UE menghapus sanksi bagi Myanmar,” demikian pernyataan menteri luar negeri UE.

Sebelumnya, UE membekukan aset hampir 1.000 perusahaan dan lembaga di Myanmar. Mereka melarang hampir 500 orang Myanmar masuk negara-negara Eropa. Larangan lainnya adalah pemberian bantuan teknis berkaitan dengan ranah militer. Investasi dalam pertambangan, kayu, dan sektor-sektor tembaga juga tak diperbolehkan.

Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengatakan, perkembangan di Myanmar sudah cukup menjadi alasan UE menetapkan kebijakan ini. Ia pun menegaskan, sangat penting bagi pemerintahan Thein Sein sekarang bekerja menghentikan kekerasan etnis. UE siap memberikan bantuan dalam mempromosikan dialog antarkeyakinan.

Pencabutan sanksi UE tak dikaitkan dengan kekerasan terhadap Muslim. Pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi, menyatakan, kedua hal itu tak berhubungan. “Saya pikir, tak seharusnya konflik itu dikaitkan dengan embargo ekonomi,” katanya. HRW menilai, langkah UE akan memperlemah mereka dalam mengkritisi situasi kemanusiaan di Myanmar. n ichsan emrald alamsyah/reuters ed: ferry kisihandi

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement