REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erdy Nasrul
Darah Indonesia mengalir dalam tubuhnya. Tutur katanya sudah berbahasa Indonesia. Dia adalah Siswa SMA Indonesia Davao (SID), Filipina Selatan. Namanya, Reymark Mendome Arbaan. Bahasa Indonesia memang baru dipelajarinya dua tahun lalu.
Ayah Reymark bernama Deamento Mendome. Ibunya adalah Tisi Arbaan. Kakek mereka berasal dari sekitar Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Sekitar 1970-an, pendahulu Reymark mendatangi Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Pekerjaannya nelayan.
Target tangkapan yang paling utama adalah ikan salmon di Perairan Pasifik. Ketika itu, harga ikan salmon bisa 10 kali lebih mahal di Filipina. Pelabuhan General Santos dikenal memiliki tempat pengolahan ikan terbaik. Alasan ini membuat banyak nelayan Indonesia di Sulawesi Utara berdatangan ke Filipina Selatan.
Keluarga Deamento pun bertahan di Filipina Selatan. Kini, Deamento tinggal di Pulau Balut, selatan Davao. Dia bekerja sebagai nelayan, seperti kakeknya dulu. Tinggal di luar Indonesia membuat Reymark tidak bisa berbahasa Indonesia.
Pada mulanya, dia berbicara dengan bahasa visaya. Bahasa yang sejumlah kosa katanya mirip bahasa Jawa atau Melayu. 'Limo' untuk lima. Enam disebut anim. Tujuh disebut pitu. Dia juga diajarkan bahasa Sangihe, salah satu bahasa daerah Sulawesi Utara. Dia juga sedikit menguasai bahasa Inggris.
Reymark yang tidak berbahasa Indonesia pun bingung ketika pertama kali menginjakkan kaki di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Davao pada 2011. Ketika itu, Reymark akan masuk dan menjadi murid Sekolah Indonesia Davao (SID).
Awalnya, dia mengucapkan selamat pagi, apa kabar, dan sudah. Tidak lebih. Kemudian, dia mengikuti program bahasa Indonesia yang dilakukan setiap hari di SID. Dia juga menginap di Asrama SID, sekitar Kompleks KJRI Davao.
Setelah beberapa pekan mengikuti kursus, Reymark mulai merangkai kata, seperti “kamu sudah makan?" Cara dia mengucapkannya pun terbata-bata. Meski demikian, semangatnya untuk bisa berbahasa Indonesia sangat besar.
Satu pemikiran menjadi penguat Reymark untuk berbahasa Indonesia. Ini adalah bahasa Ibu Pertiwi. Dia merasa tidak enak menjadi orang Indonesia, tapi tidak bisa berbahasa Indonesia.
Dia mulai menghimpun kosa kata bahasa Indonesia. Pertama, kosa kata yang dilihat mata dan di sekitar tempat tinggalnya. Ada bangku, meja, peralatan sekolah, taman, dan lainnya. Dia juga menggunakan direct method atau metode langsung dalam percakapan sehari-hari.
Reymark memanfaatkan tamu dari Indonesia untuk berdialog dengan bahasa Indonesia. “Saya beranikan diri. Salah sedikit tidak apa-apa," ujar dia sembari tersenyum. Jika ada kosa kata yang tidak diketahuinya dalam bahasa Indonesia, dia bertanya kepada tamunya dengan bahasa Inggris.
Awalnya pasti tidak sempurna. Lambat laun, dia semakin mahir bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia. Ketika Republika mewawancarainya pada Jumat (23/8), dia sudah lancar berbahasa Indonesia. Apa yang dialami Reymark dua tahun lalu juga dirasakan murid SID, Stanley Tagoreri Dalisang (18 tahun). Seperti halnya Reymark, Stanley juga keturunan Indonesia. Orang tuanya berasal dari Sulawesi Utara.
Namun, Stanley lebih menguasai bahasa Inggris daripada Indonesia. Dalam bahasa Inggris, dia menyatakan keinginannya berbahasa Indonesia. “Saya sangat malu sebagai orang Indonesia tidak mampu berbahasa Indonesia," ujar dia.
Stanley juga belajar makna Burung Garuda, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Dia juga ditunjukkan gambar-gambar sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Jakarta. “Saya tahu Jakarta macet dan penuh kesibukan, namun belum pernah ke sana,” katanya.
Kata 'wow' meluncur dari bibir Stanley ketika ditunjukkan gambar Candi Borobudur. Matanya juga terbelalak menunjukkan kekaguman. Dia mengaku bangga menjadi warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki peninggalan sejarah berusia lebih dari 1.500 tahun. Penasarannya membuncah bagaimana bisa pada zaman tersebut orang-orang mendirikan bangunan semegah Candi Borobudur. Bagaimana pula bangunan itu bisa ada sampai saat ini.
Reymark dan Stanley juga semakin kagum ketika mengetahui Bali menjadi pusat pariwisata dunia. Ini menguatkan keinginan mereka mengunjungi Bali dan Jakarta. Jika kesempatan itu datang, Stanley akan memaksimalkan cintanya pada Tanah Air. “Tidak lupa, saya akan berbicara bahasa Indonesia dengan orang-orang di sana," kata Stanley.
Tidak kurang dari 120 anak menjadi murid SID. Wakil Kepala SID Nanang Sumanang menyatakan, sebagian dari mereka sudah bisa berbahasa Indonesia, tapi masih harus ditingkatkan. Pernah dalam proses belajar-mengajar di kelas, anak-anak diminta membuat kalimat menggunakan kata penghubung, seperti 'dan' atau 'atau'. "Saya Pak," teriak seorang murid sambil mengacungkan tangan.
Namun, anak itu salah mengartikan. Bukannya menggunakan kata penghubung, anak itu menggunakan kata 'penghubung'. “Penghubung Jansen sudah datang di Davao," kata anak itu seperti dituturkan Nanang.
Ada juga petinggi KJRI di Davao yang bertanya kepada seorang anak, “Naik apa ke sini?” Namun, anak WNI dari General Santos itu tidak menjawab kendaraan yang ditumpanginya, tapi "Saya naik sepatu."
Cerita-cerita unik ini menguatkan keinginannya untuk mendidik mereka mengenal Indonesia. Meski dibesarkan di Filipina, mereka harus tetap memiliki semangat merah putih dan satu tanah air, tanah air Indonesia. n ed: ratna puspita
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.