REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekjen PBB Ban Ki-moon menerima laporan hasil penyelidikan serangan senjata kimia di al-Ghouta, Damaskus, Suriah. Serangan terjadi pada 21 Agustus yang menewaskan 1.400 orang. Ketua Tim Penyelidik PBB Ake Sellstrom menyerahkan hasil kerjanya ke Ban.
Menurut juru bicara PBB, Martin Nesirky, pada Senin (16/9) Ban menggelar rapat tertutup di Markas PBB, New York, AS. Pertemuan berlangsung pagi waktu setempat. “Ia memaparkan isi laporan kepada negara-negara anggota Dewan Keamanan (DK) PBB,'' kata Nesirky.
Setelah itu, Ban menyampaikan penjelasan kepada seluruh anggota PBB yang berjumlah 193 negara. Penyelidikan yang dipimpin pakar dari Swedia, Ake Sellstrom, mencoba mengungkapkan apakah senjata kimia benar-benar digunakan di Ghouta, wilayah suburban Damaskus.
Bila memang ada serangan senjata kimia, jenis apa yang digunakan. Bukan siapa yang bertanggung jawab memakai senjata mematikan itu untuk menyerang lawan. Sebelumnya, Ban menuding Presiden Suriah Bashar al-Assad telah melakukan serangkaian kejahatan kemanusiaan.
Menurut dia, laporan tim penyelidik akan memuat konfirmasi penggunaan senjata oleh rezim Assad. AS dan negara sekutunya pun merasa yakin, Assad berada di balik serangan itu. Sejumlah diplomat PBB mengatakan gambaran perinci akan menunjuk siapa pelakunya.
Duta Besar Suriah untuk PBB Bashar Jaafari menegaskan, negaranya tak akan menerima politisasi laporan penyelidikan itu. “Rusia, Amerika, dan semua pihak berusaha menekan dan memengaruhi laporan ini,'' demikian pernyataan seorang pejabat PBB.
Tim penyelidik tiba di Suriah pada Maret lalu untuk menyelidiki penggunaan senjata kimia di Aleppo. Setelah terjadi serangan di Ghouta, pada Agustus, tim mengubah fokus penyelidikannya menuju wilayah tersebut.
Penyerahan laporan hasil penyelidikan berlangsung beberapa jam setelah pernyataan Suriah mengenai kesepakatan Rusia-AS di Jenewa, Swiss, mengenai penanganan senjata kimia negara tersebut pada Sabtu (14/9) lalu.
Intinya, Rusia dan AS meminta Suriah membuka akses ke PBB melakukan pengawasan terhadap senjata kimianya, termasuk menghapus seluruh senjata itu. Targetnya hingga pertengahan tahun 2014. Kesepakatan di Jenewa juga menunda serangan AS ke Suriah.
Menteri Negara untuk Rekonsiliasi Nasional Suriah Ali Haidar mengatakan, momen itu membantu Suriah bangkit dari krisis. Di sisi lain, menghindarkan serangan militer terhadap Suriah. “Ini kemenangan Suriah,'' katanya kepada kantor berita Rusia, Ria Novosty.
Haidar menyatakan terima kasih kepada Rusia. Sekutu dekat Suriah ini mampu menepis kemungkinan opsi militer yang dilakukan AS. Meski tak dekat dengan Assad, Haidar merupakan pejabat Suriah pertama yang bereaksi dalam kesepakatan Rusia dan AS.
Menteri Informasi Suriah Omran al-Zoubi menyatakan, negaranya berkomitmen pada rencana penghapusan senjata kimia. Pemerintah mempersiapkan dokumen terkait. “Kami mematuhi apa yang ditetapkan PBB. Kami menerima rencana Rusia melepas senjata kimia.''
Sekjen Liga Arab Nabil El-Araby menyebut kesepakatan di Jenewa mengarah pada solusi politik. Langkah ini ia yakini dapat mengakhiri perang sipil di Suriah yang memasuki tahun ketiga. Lebih dari 110 ribu orang kehilangan nyawa akibat perang yang bermula Maret 2011 itu.
Juru bicara Koalisi Nasional Suriah Shadi Hamid meminta dunia lebih responsif. Mestinya, kata dia, negara-negara besar mencegah Assad mengerahkan kekuatan udara, tank, dan artilerinya menggempur wilayah-wilayah sipil.
Menurut Hamid, Assad sekarang tak memanfaatkan senjata kimianya lagi. Namun, mereka masih mampu mengerahkan senjata konvensional untuk menggelar serangan. n bambang noroyono/ap/reuters ed: ferry kisihandi
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.