REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masuknya investasi asing ke sektor properti dalam negeri atau terbukanya pemasaran properti internasional di Indonesia akan menambah pemasukan bagi devisa negara.
Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Teguh Kinarto mengatakan, prospek pemasaran properti internasional akan bermanfaat untuk pemasukan devisa negara. Apalagi, dunia saat ini sedang bergerak sangat cepat dan super dinamis sehinga perubahan kebijakan ekonomi AS dapat berdampak pada kondisi pasar uang dan modal yang bergejolak. “Semua itu bisa berujung pada tergerusnya devisa nasional,” kata Teguh di Jakarta, Kamis (19/9).
Untuk itu, kata Teguh, Indonesia harus belajar dari pengalaman tergerusnya devisa akibat ekonomi yang terlalu banyak impor dengan menggalakkan kegiatan ekonomi yang bisa memasukkan devisa yang bersifat jangka panjang.
Salah satu kegiatan itu adalah pengembangan properti internasional atau dikenal dengan properti untuk orang asing di Indonesia. Menurut Teguh, sejauh ini, prospek pemasaran properti internasional masih belum dilirik oleh pemerintah sebagai alternatif investasi langsung asing yang berdampak sangat positif terhadap pemasukan devisa.
Bahkan, tidak jarang terjadi properti internasional seolah-olah dihadapkan secara langsung dengan pembangunan perumahan subsidi yang dinilai masih banyak ditemui kendala. “Sebenarnya hal ini kurang relevan,” katanya.
Teguh berpendapat, ketidakrelevanan kedua hal tersebut karena antara properti internasional dan perumahan subsidi tidak bersinggungan secara langsung. Selain itu, masing-masing dari kedua hal tersebut memiliki pemecahan dan masalah yang berbeda-beda satu sama lain. REI berharap, pemerintah mempertimbangkan properti internasional sebagai salah satu alternatif strategi guna menggerakkan ekonomi yang menghasilkan devisa permanen.
LSM Indonesia Property Watch menghendaki agar kebijakan sektor perumahan yang dikeluarkan pihak yang berwenang jangan sampai terpaku dalam "memusuhi" segmen menengah atas yang dituding kerap melakukan spekulasi.
“Harus dihindari terjebak dalam paradigma yang seakan-akan memusuhi segmen menengah atas dengan alasan meredam aksi spekulasi,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda.
Menurut dia, aturan seperti yang akan dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) yang melarang pembelian rumah kedua dan seterusnya dengan cara inden (rumah belum dibangun) mulai akhir September 2013 kurang tepat.
Dengan adanya aturan itu, dikhawatirkan akan menurunkan daya beli masyarakat menengah yang sedang tumbuh dan mengganggu pasokan pasar perumahan di segmen menengah. “Perlu disikapi bahwa kategori konsumen yang membeli rumah kedua tidaklah serta-merta dikaitkan dengan segmen menengah atas,” katanya.
Ali melanjutkan, naiknya kemampuan masyarakat segmen menengah untuk membeli rumah kedua pun seharusnya disikapi dengan baik karena itu bukti peningkatan ekonomi masyarakat. Kebijakan yang harus dilakukan pemerintah, antara lain, adalah mengontrol harga tanah dengan membentuk bank tanah sehingga tidak sepenuhnya dilepaskan ke pasar.
“Seharusnya pemerintah sudah sadar untuk segera merealisasikannya sebagai tanah milik pemerintah yang terlepas dari mekanisme pasar komersial, sehingga pemerintah dapat mematok harga tanah yang nantinya akan dibangun rumah segmen menengah atas,” ujarnya.
Ketua Umum REI Setyo Maharso menilai, pengucuran kredit pemilikan rumah (KPR) inden jauh lebih aman bagi perbankan dibandingkan harus memberikan kredit konstruksi langsung kepada pengembang. n antara ed: eh ismail
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.