JAKARTA — Perilaku kekerasan terhadap anak meningkat secara signifikan selama tiga pekan terakhir. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mencatat adanya ribuan kasus kekerasan terhadap anak sejak 26 Mei hingga 14 Juni.
Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Djoko Setiyono mengatakan, ada 1.508 angka kekerasan terhadap anak selama tiga pekan terakhir.
Menurutnya, ada kenaikan yang signifikan selama tiga pekan. Bentuk kejahatannya berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, ataupun kekerasan psikologis. Semuanya kekerasan terhadap hak perlindungan anak.
Jumlah angka kekerasan anak menduduki peringkat ketiga dalam daftar tindak pidana terbanyak yang dirangkum Kemenkumham. Sementara itu, tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan pencurian menduduki peringkat teratas daftar tindak kejahatan yang dirangkum Kemenkumham.
Kekerasan terhadap anak, lanjut Djoko, dilakukan orang dewasa dan anak-anak. Bahkan, ada kekerasan yang dilakukan orang tua ketika mendidik anaknya. Berdasarkan penelusuran Kemenkumham, pelaku kekerasan terhadap anak rata-rata memiliki latar belakang pernah mengalami tindak kekerasan pada masa lalu.
"Memang ada keterkaitan antara kekerasan sebelumnya dan perilaku kekerasan yang dilakukan pelaku. Sebab, ada kebiasaan menerima perlakuan yang keras. Kecenderungan balas dendam itu ada," tutur Djoko di Jakarta, Selasa (14/6).
Kekerasan di sekolah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Komite III DPD menyepakati untuk menyelesaikan permasalahan tindak kekerasan dalam bidang pendidikan melalui jalur sekolah. Terlebih lagi, persoalan ini sudah diatur Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, kekerasan terhadap anak harus dilihat sebagai peristiwa yang menjadi bagian dari pendidikan. Pendekatannya harus diubah. Penyelesaiannya melibatkan pelaku pendidikan.
Anies mengungkapkan, hal yang akan terjadi apabila kekerasan terhadap anak diselesaikan sebatas jalur hukum, akan membuat anak dijauhkan dari pendidikan, bahkan tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan.
Seluruh elemen masyarakat diharapkannya menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan. "Bila terjadi tindak kekerasan dan ada peristiwa hukum di dalamnya, seperti terluka, kita memfasilitasi antara pihak berwajib dengan siswa," kata alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Penyelesaian tindakan kekerasan seksual melalui pendekatan pendidikan mencakup langkah penanggulangan, pemberian sanksi, dan pencegahan. Upaya ini melibatkan pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan, seperti sekolah, orang tua, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Anies menyatakan, hukuman kekerasan fisik dalam bentuk apa pun di sekolah sudah ilegal. Aturan ini sudah ditetapkan di 100 negara, baik negara maju maupun negara Islam. Tindakan kekerasan yang dianggap efektif mendisiplinkan anak itu hanya berlaku pada masa kolonial. Karena sudah memasuki masa modern, masyarakat Indonesia, termasuk guru, tentu sebaiknya tidak menggunakan cara-cara tersebut.
Agar tidak dipidanakan orang tua siswa, Anies mengungkapkan, cara yang perlu dilakukan guru sangat mudah. "Jangan cubit atau sentil, pokoknya jangan menghukum dengan kekerasan fisik," ujarnya menjelaskan.
Anies menjelaskan, terdapat dua hal yang dilakukan orang tua atau guru yang kerap memberikan sanksi berbentuk kekerasan fisik pada anak. Bentuk ini biasanya terdapat niat mendisiplinkan yang dicampuri dengan hasrat menyalurkan emosi. Padahal, dua hal ini jelas tidak boleh dicampur dalam mendidik anak yang tepat dan baik.
Kemendikbud tengah menyiapkan buku panduan untuk para guru. Buku panduan ini disiapkan agar guru bisa mendisiplinkan anak tanpa harus melakukan kekerasan fisik.
Anggota DPD dari Sumatra Selatan, Ema Yohana, mengungkapan, penyebab kekerasan, terutama kekerasan seksual, tidak lepas dari persoalan kemiskinan. "Ada satu kasus kekerasan, anak merupakan bagian dari keluarga yang tinggal dengan keluarga di rumah sangat sederhana, kondisi tekanan di rumah bisa memengaruhi pikiran anak untuk melakukan kekerasan di luar rumah," katanya menjelaskan.
Kerja sama lintas kementerian harus dilakukan. Wujudnya bisa mendekatkan sumber ekonomi sehingga orang tua bisa memberikan pendidikan kepada anak. rep: Dian Erika Nugraheny, Wilda Fizriyani, ed: Erdy Nasrul
Kasus pengaduan anak
2011 : 276 kasus
2012 : 552 kasus
2013 : 371 kasus
2014 : 461 kasus
2015 : 220 kasus
Jumlah kasus kekerasan anak 2016
Mei: 16.570
Juni: 18.078
Sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Kemenkumham