Dalam dua hari ini, utang luar negeri kembali menjadi salah satu topik yang menarik untuk dibicarakan. Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki utang kepada Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) langsung mendapat respons dari mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
SBY menyatakan bahwa sejak 2006 pemerintah yang dipimpinnya telah melunasi seluruh utang ke IMF. Pelunasan tersebut dilakukan empat tahun lebih cepat dari tenggat waktu pelunasan. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pun, kemarin, memastikan bahwa Pemerintah Indonesia saat ini tidak memiliki utang ke IMF.
Menurut Bambang, kalaupun ada utang ke IMF, itu adalah milik Bank Indonesia yang besarnya 2,9 miliar dolar AS pada November 2014. Namun, itu bukan utang yang harus dibayar melainkan dalam rangka pengelolaan devisa. Utang Pemerintah Indonesia saat ini hanya ke World Bank dan Asian Development Bank.
Terlepas dari silang pendapat antara presiden dan mantan presiden negeri ini, utang luar negeri memang selalu menjadi tema pembicaraan menarik. Selama ini utang luar negeri seperti menjadi momok bagi kalangan lembaga swadaya masyarakat antiutang. Utang luar negeri yang menumpuk menjadi beban anak cucu di kemudian hari.
Apalagi, jumlah utang Indonesia juga tidak berkurang. Bank Indonesia (BI) mencatat, utang luar negeri Indonesia selama Januari 2015 mencapai 298,6 miliar dolar AS. Porsi ini naik 2,05 persen dibanding utang luar negeri di Desember 2014 sebesar 292,6 miliar dolar AS. Secara tahunan atau year on year (yoy), utang luar negeri Indonesia tumbuh 10,1 persen dibandingkan periode yang sama pada 2014.
Utang swasta menyumbang porsi terbesar dari total utang luar negeri Indonesia di Januari 2015 dengan nilai 162,9 miliar dolar AS atau 54,6 persen. Angka itu menggambarkan bahwa utang swasta lebih besar dari utang pemerintah.
Dari data BI, penyumbang terbesar utang swasta pada Januari 2015 berturut-turut berasal dari sektor keuangan sebesar 47,2 miliar dolar AS, industri pengolahan (32,2 miliar dolar AS), pertambangan (26,4 miliar), serta listrik, gas, dan air bersih sebesar 19,2 miliar dolar AS.
Utang sejatinya memang bukan barang haram. Negara maju seperti Amerika Serikat maupun sejumlah negara Eropa pasti memiliki utang luar negeri. Amerika Serikat termasuk salah satu negara dengan utang luar negeri terbesar.
Namun, kita harus menyadari bahwa ada risiko yang mengintip dari utang luar negeri tersebut. Risiko inilah yang wajib dikurangi agar utang luar negeri yang kita miliki dapat menunjang laju pembangunan di negeri ini. Salah satunya, rasio utang harus ideal dengan produk domestik bruto. Pemerintah harus menjaga agar rasio utang dengan produk domestik bruto berada di kisaran 20-24 persen. Dengan level tersebut, kemampuan membayar utang luar negeri Indonesia tidak diragukan.
Di sisi lain, pemerintah dan Bank Indonesia juga harus mengawasi utang luar negeri swasta secara ketat. Utang luar negeri swasta ini bukan tidak mungkin dapat menyeret sebuah negeri ke jurang krisis moneter. Sebab, utang luar negeri swasta rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar atau currency risk, risiko likuiditas, dan juga risiko beban utang yang berlebihan atau overleverage risk.
Ketidakpastian ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar rupiah sepanjang 2015 seharusnya diantisipasi oleh korporasi swasta dan BUMN untuk benar-benar menerapkan prinsip lindung nilai (hedging).
Sejak dikeluarkannya penyempurnaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/PBI/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri, secara umum pemenuhan kewajiban lindung nilai sektor swasta menunjukkan peningkatan. Namun, itu harusnya terus ditingkatkan. Bank Indonesia harus lebih berperan untuk mendesak swasta memenuhi ketentuan ini.