JAKARTA -- Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mendapat perlawanan dari beberapa partai politik dan lembaga swadaya masyarakat. Kali ini, DPD menyatakan kritikan terhadap undang-undang yang disahkan satu hari sebelum Pemilihan Presiden 2014, pada Selasa (8/7). Ketua DPD Irman Gusman menyatakan, DPD mengajukan uji materi atau judicial review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, UU MD3 tidak mengakomodasi kepentingan DPD. "Kami ingin UU MD3 dibawa ke MK," ujar dia, Selasa (15/7).
Irman menerangakan, UU MD3 tidak mengakomodasi kepentingan DPD dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU). Padahal, menurut dia, MK mengamanatkan agar DPR melibatkan DPD dalam proses pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah. "Jadi, UU MD3 yang ada sekarang tidak lebih baik dari 2009," ujar dia.
DPD merasa tidak dilibatkan secara aktif dalam proses pembahasan UU MD3. Irman menyatakan sejumlah masukan yang disampaikan DPD tidak diindahkan panitia khusus (pansus) pembahasan MD3. "Terus terang, proses pembahasan UU MD3 ada sesuatu yang misterius," kata dia.
Dalam waktu dekat, DPD membentuk tim litigasi yang terdiri atas anggota DPD dan pakar hukum. Tim ini yang mengajukan uji materi UU MD3. "Seharusnya, UU MD 3 memberdayakan lembaga negara, termasuk DPD, jangan sekadar bersifat transaksional atau politis," kata dia. Pekan lalu, PDI Perjuangan mengajukan uji materi ke MK atas pengesahan RUU MD3 menjadi Undang-Undang (UU). PDI Perjuangan menilai, pengubahan model pemilihan pimpinan DPR yang terdapat dalam UU MD3 sekarang melanggar hak konstitusionalnya.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan uji materi UU MD3 ke MK. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan menyatakan, ada beberapa poin dalam UU MD3 yang menunjukkan kemunduran. Dia menyebutkan, pasal 224 mengenai hak imunitas membuat anggota DPR tidak bisa dituntut di peradilan atas perkataan dan tindakan mereka. "Itu tidak sejalan dengan semangat kesamaan semua orang di hadapan hukum," kata dia.
Abdullah menyatakan, imunitas anggota DPR diperkuat pasal 245. Aturan itu menyatakan, proses pemeriksaan anggota DPR yang bersinggungan dengan urusan pidana harus seizin Majelis Kehormatan Dewan. "Itu prosesnya 30 hari," kata dia. Pasal 80 mengenai penambahan hak mengajukan anggaran untuk daerah pemilihan memunculkan persoalan. Abdullah menyatakan, aturan itu rawan penyimpangan karena tidak jelas mekanisme penganggaran, pengawasan, dan implementasinya.
Abdullah juga mengkritik penghilangan sejumlah pasal seperti kewajiban pelaporan anggota DPR pada basis daerah pemilihan, keberadaan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). "BAKN ini dihilangkan, menurut mereka, tugasnya tumpang tindih dengan BPK. Padahal, keduanya bisa saling menguatkan," kata dia.
Selain soal konten, Abdullah juga mempersoalkan legalisasi peraturan tersebut yang menurut dia tidak etis. "Mereka seolah mencuri-curi kesempatan ketika fokus rakyat semua tertuju pada pilpres. Mereka seolah tidak ingin rakyat tahu," ujar dia. Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego mempertanyakan, mengapa revisi dilakukan sekarang ini. Padahal, banyak anggota DPR yang tidak akan menjabat pada periode selanjutnya.
Revisi UU MD3 terkesan ingin menjegal kader PDI Perjuangan menjadi anggota DPR. "Kalau Puan Maharani jadi, mungkin dinilai belum layak, maka dibikin aturannya yang mendelegitimasi aturan lama. Apalagi, ketua DPR punya privilege, seperti mobil dinas, ajudan, semua berebut di sana," kata Indria.
Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, tidak ada masalah dengan UU MD3. Terkait izin pemeriksaan tindak pidana, Mahkamah Kehormatan Dewan tidak akan mempersulit. "Kalau memang (anggota DPR) ada masalah, pasti diberikan. Kalau enggak jelas masalahnya, enggak mungkin (diberikan)," ujar dia.
Marzuki mengatakan, persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR hanya untuk memperjelas mekanisme. Aturan itu juga sekaligus mengembalikan wibawa anggota DPR. "Kita sering lihat kan, tidak ada kaitan apa-apa, diundang. Itu kan mendegradasi kewibaan dewan," ujar dia.
Marzuki mempersilakan berbagai pihak menempuh uji materi UU MD3 ke MK. Menurut dia, uji materi merupakan langkah konstitusional untuk mengubah undang-undang. "Enggak ada petisi dalam konteks mekanisme peraturan perundangan," ujar dia. rep: c54/c57/c75/ muhammad iqbal, muhammad akbar wijaya ed: ratna puspita
Polemik UU MD3
Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disahkan pada Selasa, 8 Juli 2014, atau satu hari sebelum pencoblosan. Satu pekan setelah pengesahan beleid tersebut, beberapa pihak berencana mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berikut beberapa kritikan terhadap UU MD3.
Pasal Kontroversial
1. Pasal 84 terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR.
DPR mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR, dari sebelumnya berdasarkan model proporsional perolehan kursi atau perolehan kursi terbanyak diganti dengan cara model paket yang dipilih (voting).
2. Pasal 224 ayat 4 dan 5 tentang hak imunitas.
Aturan ini berpotensi mengancam anggota DPR yang kritis terhadap situasi maupun kebijakan di internal DPR, khususnya jika ada penyalahgunaan fungsi, wewenang, dan tugas dalam rapat tertutup DPR.
3. Pasal 245 tentang penyidikan
Penyidik harus meminta izin Mahkamah Kehormatan Dewan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan pengganti Badan Kehormatan DPR.
4. Pasal 80 huruf J tentang hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan.
Anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
5. Pasal 72 huruf c
Aturan itu menyatakan tugas DPD yang menerima rancangan undang-undang yang diajukan DPD. Namun, DPD menilai aturan ini belum mengakomodasi kalau ada RUU dari DPD.
Yang Justru tidak Adiatur
1. Transparansi
DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya) dan melaporkan kepada publik. Kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat tertutup.
2. Keterwakilan Perempuan
Ada enam pasal yang dihapus terkait keterwakilan perempuan dalam komposisi pimpinan alat kelengkapan dewan. Yaitu, komposisi pimpinan komisi, komposisi pimpinan badan legislasi, komposisi pimpinan badan anggaran, komposisi pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), komposisi pimpinan Badan Kehormatan, dan komposisi pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
3. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dari alat kelengkapan dewan.
Penghapusan ini membuat fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menjadi tidak tajam dan elaboratif.
4. UU MD3 seharusnya mengatur fungsi DPD, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.
DPD mengusulkan penambahan ayat pada Pasal 231 dan 296 tentang sidang bersama DPR dan DPD. Badan Fungsional/Keahlian sebagai sistem pendukung DPR juga diusulkan agar diatur juga untuk DPD.
Sumber: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 dan Pusat Data Republika