JAKARTA-- Sejumlah kalangan menyayangkan langkah Karen Agustiawan meletakkan jabatannya sebagai direktur utama Pertamina. Apalagi, momentum mundurnya pucuk pimpinan Pertamina bertepatan dengan masa pergantian pemerintahan.
Pengamat energi Kurtubi mengatakan, saat ini Pertamina masih dirundung masalah-masalah besar yang belum ada solusinya, salah satunya adalah kerugian besar dalam bisnis elpiji nonsubsidi. Pertamina dari dulu sudah minta kenaikan harga, tapi selalu ditunda. Sekarang dirutnya mundur, padahal masalahnya belum ada solusi, kata Kurtubi kepada Republika, Senin (18/8).
Selain bisnis elpiji nonsubsidi, Kurtubi melanjutkan, Pertamina juga masih tersandung masalah kuota bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Kurtubi meragukan kemampuan Pertamina menjual BBM subsidi jika seandainya kuota BBM subsidi sebesar 46 juta kiloliter habis pada November.
Persoalan lain yang banyak dikritik publik adalah masalah mafia migas. Di satu sisi, kata Kurtubi, ada mafia migas yang mempunyai kepentingan. Sementara di sisi lain, ada rakyat yang harus dibela. Dalam hal ini, posisi dirut menjadi terjepit.
Kendati menyayangkan langkah Karen, Kurtubi menilai, kinerja Pertamina membaik selama Karen menjabat dirut. Sayangnya, kinerja tersebut dinodai sikap diam direksi Pertamina yang tidak memperhatikan tata kelola migas yang sudah tidak sesuai konstitusi.
Kurtubi menerangkan, dicabutnya 17 pasal dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas menunjukkan bahwa tata kelola migas telah melanggar konstitusi. MK juga membubarkan BP Migas, ujarnya. Harusnya, para direksi Pertamina mengkritisi ihwal pencabutan undang-undang tersebut. Ini yang tidak kita dengar dari Karen, kata Kurtubi.
Alangkah lebih baik apabila Karen mundur saat Indonesia sudah di bawah pemerintahan yang baru. Dengan mundurnya Karen di tengah jalan seperti ini, penggantinya pasti dipilih oleh pemerintahan yang ada saat ini dan mereka pasti mencari dirut yang pro terhadap pencabutan undang-undang tersebut.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Berly Martawardaya mengatakan, kinerja Karen Agustiawan selama enam tahun patut diapresiasi. Salah satunya adalah keberhasilan membawa Pertamina masuk Fortune 500. Dengan memilih mundur, saya pikir Dirut Pertamina memberi ruang pada pemerintah berikutnya untuk menunjuk dirut Pertmina yang baru, kata Berly.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Rofi Munawar mengatakan, sebaiknya publik tidak berprasangka yang macam-macam terkait langkah mundur Karen. Publik hendaknya memercayai alasan yang disampaikan Karen bahwa dia ingin berkonsentrasi mengurus dirinya sendiri setelah tidak lagi memimpin Pertamina.
Kan kita dengar sendiri dia ingin mengajar di Harvard University. Ya, saya kira itulah alasan utamanya, kata Rofi.
Dia melanjutkan, hal yang terpenting saat ini adalah memikirkan figur yang tepat yang bisa menggantikan Karen. Alasannya, dengan atau tanpa Karen, Pertamina harus tetap menjalankan fungsinya sebagai badan usaha negara yang mengurusi permigasan.
Sejak dulu sampai sekarang, peran Pertamina sangat penting di dalam memproduksi, mengelola, mendistribusikan, dan mengendalikan migas di Tanah Air. Kehilangan pucuk pimpinan tidak boleh membuat Pertamina limbung dan tergelincir dari perannya.
Ke depan, kata Rofi, Pertamina membutuhkan figur baru yang mampu tampil sebagai pembawa solusi tiga masalah mendasar permigasan nasional. Ketiga masalah itu adalah peningkatan produksi yang termasuk eksplorasi bahan bakar selain minyak, pemerataan distribusi dan pengendalian harga BBM ke seluruh wilayah nusantara, serta menjaga konsumsi di batasan kuota yang telah ditentukan dalam APBN.
Kesalahan dalam hal mengurusi BBM ini akan membebani APBN. Memang bukan tugas Pertamina sendirian, melainkan ESDM. Tapi, biar bagaimana Pertamina adalah salah satu aktor utamanya. Inilah yang harus dipikirkan ke depan, bukan mempermasalahkan mundurnya seorang dirut, kata Rofi. rep:c57/c88 ed:eh ismail