Selasa 17 Jun 2014 12:00 WIB

Berharap Manisnya Jakarta dari Secangkir Kopi

Red:

Wajah Monas pada hari libur bak kue manis yang dikerubungi semut. Ribuan orang berduyun-duyun mendatanginya untuk berwisata atau sekadar mencari suasana baru.

Kesempatan itu tak dilewatkan Riki (23 tahun) yang kesehariannya bekerja sebagai penjaja minuman keliling. Tak ingin terlambat, ia beringsut meninggalkan kos sederhananya di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat (Jakpus). Bermodalkan sepeda tua, Riki membawa ratusan sachet minuman serbuknya menyusuri jalan menuju Monas.

Demi bisa rutin mengirim uang kepada anak-istri di Sampang Madura, Jawa Timur (Jatim), Riki tekun berjualan kopi dan mi instan. Ia juga berkewajiban menanggung biaya pendidikan adiknya yang menuntut ilmu di pesantren.

Untungnya, Riki tak mengeluarkan biaya untuk kos di Jakarta. Ia menumpang di rumah seseorang yang ia sebut bos. "Namanya Haji Usman," katanya. Bersama 50 pedagang keliling, Riki tinggal di rumah Haji Usman.

Orang-orang yang menumpang rata-rata bujangan atau jika sudah berkeluarga tapi tidak membawa anak istrinya. Haji Usman pula yang memodali Riki untuk berjualan. Menurut Riki, sang bos memberikan dagangan dengan sistem kas bon. Pembayaran dilakukan setelah dagangan Riki laku terjual.

Setiap hari, sejak pukul 06.00 WIB hingga menjelang Maghrib, ia mengelilingi Monas sekadar menawarkan segelas kopi panas. Lelaki tamatan SMP ini mengaku sudah 1,5 tahun mengayuh sepeda berjualan kopi keliling.

Kerja Riki bukan tanpa hambatan. Jam kerjanya dibayang-bayangi ancaman razia Satpol PP. "Tujuh bulan yang lalu kena ciduk, eh sepeda sama dagangan saya diambil. Sama polisi disuruh nebus di polsek Rp 400 ribu," kenang Riki.

Tidak hanya Riki yang berjualan menggunakan sepeda. Tak jauh dari tempat Riki mangkal, Jefri (18) sedang sibuk melayani pembeli yang memesan es kopi. Dibanding Riki, Jefri lebih dulu berjualan kopi. Tiga tahun sudah Jefri menjadi penjaja kopi.

Berbeda dengan Riki, Jefri mengambil dagangan dari Bos Bachir yang ada di Tanah Abang. Meski beda juragan, sistem yang diterapkan tetap sama. Para penjaja kopi diperbolehkan membayar dagangan setelah semua terjual.

Wilayah berdagang Jefri kerap berpindah. Jika sedang ada pertandingan bola, Jefri berdagang di Senayan. Lain hari, ketika di Mahkamah Konstitusi sedang digelar sidang, ia memboyong termos dan gelas-gelas plastiknya ke depan gedung MK.

Sejak zaman gubernur Fauzi Bowo hingga era Jokowi, Jefri tak pernah jera meski sering berhadapan dengan razia. "Jokowi mending agak longgar. Dulu sebelum Jokowi, ketahuan lagi jalan aja diciduk. Saya sering kucing-kucingan sama petugas. Sekarang enggak, kalau cuma jalan biasa aja," tutur Jefri sambil menuang air ke dalam gelas.

"Pemerintah kan kerja cari duit, kita juga begini kerja cari duit. Kita dagang halal nggak nyuri. Kita rakyat kecil sudah susah, jangan dibikin tambah susah," lanjutnya.

Selain di Monas, Taman Suropati juga menjadi tempat para pedagang kopi mencari pembeli. Herry biasa berjualan kopi di sana. Pria yang sudah delapan tahun bergelut di pekerjaan ini. Dia mengaku, bekerja dengan sistem shift, dimulai pukul 06.00 WIB sampai 18.00 WIB. Shift lainnya adalah pada waktu malam hari. "Gantian dengan yang lain," katanya. Mereka menaati sistem itu.

Harga yang dipatok untuk secangkir kopi pun tidak mahal. Paling murah Rp 3.000 dan yang paling mahal Rp 4.000. Dalam sehari, pemasukan kotornya Rp 100 ribu - Rp 150 ribu pada hari biasa dan Rp 250 ribu - Rp 300 ribu pada hari libur.

Rekan Herry, Abdul Mu'in, sudah tujuh tahun menjadi pedagang kopi keliling. Pria asal Pamekasan, Jawa Timur, ini tinggal dengan bosnya di Kwintang, Senen, Jakpus. Dia dan Herry setiap hari kulakan di toko milik bosnya, Haji Hasan. Ia mengatakan, selisih harga kopi antara di bos dengan di pasar sebesar Rp 500. Tapi, ia tidak mempersoalkan hal tersebut. "Itung-itung balas budi," kata dia.

Mereka adalah contoh dari banyaknya pendatang yang berharap akan manisnya Jakarta. Menurut pengakuan mereka, saudara dan teman-temannya sudah banyak yang lebih dulu datang ke kota ini. Melihat adanya celah yang mampu menghasilkan rupiah, mereka pun menyusul kerabatnya ke Ibu Kota.

Salah seorang pedagang kopi asal Madura, Rohman, mengaku tak betah untuk terus berjualan. Jakarta tak menjanjikan kesenangan buat Rohman yang berniat balik lagi ke kampungnya untuk meneruskan sekolah.

Tiga bulan ia menjadi penjaja kopi keliling, ia mulai merasa tidak betah karena berkejaran dengan petugaa razia. "Akhir bulan ini, aku mau pulang kampung aja," ujar Rohman.rep:c88/c86 ed: dewi mardiani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement