Seorang perempuan muda terlihat membaca buku pengantar yang diberikan panitia. Dahinya mengernyit membaca lembar pertama buku itu, sebuah kalimat berkosakata Melayu, tapi artinya sulit dimengerti. Perlahan, dia buka lembar kedua. Bola matanya bergerak seiring kalimat yang terbaca. Beberapa kali dia bolak-balik lembaran buku kecil itu, seolah berusaha mengerti yang dibacanya. Lantas seulas senyum tersungging di bibirnya.
Dia lantas mendongakkan kepalanya memandang kembali ke sekelompok orang di depan. Tampak seorang pria berkostum layaknya pejabat kolonial lengkap dengan topi lebar dan sepatu botnya. Ada pula seorang tua dengan pakaian sederhana seperti petani.
Mereka yang di depan itu sedang melakonkan sebuah drama. Berkisah tentang seorang pemimpin yang keras memimpin negeri. Tentang pemimpin pribumi yang begitu tunduk dan takluk kepada "Tuan Raja Walanda". Awal mula bercokolnya mental inlander dalam diri para elite politik negeri ini.
Gadis itu kemudian menutup bukunya. Dia memandang sekeliling, semua orang tampak khidmat menyaksikan pertunjukan drama itu. Hanya dia saja yang sempat menilik isi buku di sela pertunjukan. Langit-langit aula Gedung Filateli di Jalan Raya Pos ini terlihat semakin tinggi lantaran orang berkerumun di tengah aula. Mereka menyaksikan pementasan tentang Daendels, sang jenderal penguasa tanah Jawa, 200 tahun silam.
Gadis tadi adalah satu dari 50-an orang yang duduk di baris kursi di tengah aula. Menyaksikan sebuah pementasan drama oleh Komunitas Bambu yang diangkat dari sebuah hikayat berusia ratusan tahun berjudul "Hikayat Mareskalek". Mareskalek, tak ada yang resmi menyebutnya demikian. Hanya para pelajar kulit putih di Hindia Belanda yang menggunakannya dengan Mareskalek sebagai tokoh utama dalam sebuah karya sastra abad ke-19 tersebut.
Pementasan drama tersebut sesungguhnya adalah ujung rangkaian acara "Napak Tilas Daendels" yang diadakan Komunitas Bambu bersama "Wisata Masup Jakarta". Sebelumnya, para peserta telah berjalan menelusuri sisa-sisa peninggalan Daendels di sekitaran Gedung Filateli yang terletak di kawasan Pasar Baru Jakarta.
JJ Rizal selaku penggagas acara ini mengungkapkan, acara ini semata ingin menunjukkan bahwa Indonesia, dahulu Hindia Belanda, sempat dipimpin berbagai watak pemimpin yang menduduki tampuk kekuasaan. "Tipe pemimpin yang masih kita anggap ideal adalah yang tegas. Bicara apa adanya, cenderung disegani."
Dia mengatakan, dahulu pernah ada pemimpin yang demikian. Orang itu bernama Daendels yang cenderung ditakuti. Semuanya tunduk kepadanya. Dia bangun jalan pos dari Anyer hingga Panarukan, tapi ribuan orang tewas karenanya. "Tapak tilas ini untuk menelusuri peninggalannya, sekaligus kita bisa belajar dari sejarah. Sejarah bisa menuntun manusia untuk berperilaku lebih baik," jelas sejarawan ini.
Kegiatan tapak tilas dimulai dari Gedung Filateli. Awan kelabu yang menggelayut di atas Jakarta sempat membuat para peserta tertahan selama setengah jam. Tapi, pada pukul 15.30 WIB di akhir pekan lalu itu, rombongan bisa memulai perjalanan dengan tujuan pertama adalah Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
JJ sempat memberikan uraian singkat tentang sejarah dari gedung yang dikenal dengan seni pertunjukan kelas atas itu. "Gedung ini dibangun pada 1821. Dibuka dengan mementaskan drama ‘Othello’ karya Shakespeare yang termashur," ujar dia.
Perjalanan lantas berlanjut ke Passer Baroe, Istana Daendels (Departemen Keuangan), Lapangan Banteng, Gereja Katedral, Masjid Istiqlal, dan kembali ke Gedung Filateli. Gedung yang dulunya bernama Post Telefon en Telegraf ini dipilih menjadi meeting point, sebab memiliki aula yang bisa disewa untuk umum.
Usai tapak tilas dengan berjalan kaki selama kurang lebih 1,5 jam, peserta berkumpul di aula untuk menyaksikan pementasan drama berkaitan Daendels. "Memang kami rancang (kegiatan ini) memudahkan peserta untuk mengerti apa tema yang disampaikan," ujar JJ kepada Republika.
Kegiatan wisata sejarah sekaligus ngabuburit ini diakhiri dengan buka bersama oleh seluruh peserta. Sang gadis tadi yang sempat kesulitan menerjemahkan kalimat dalam Hikayat Mareskalek akhirnya mengerti jalan cerita yang disajikan. Hikayat Mareskalek bukanlah riwayat Daendels, melainkan sebuah uraian ilmu pemerintahan pada zaman Daendels berkuasa.
Abdullah Al-Misri, sastrawan pada zaman itu, berhasil mengabadikannya ke dalam karya epik ini. Mareskalek yang sempat menganggap dirinya manusia terbaik akhirnya sadar bahwa masa kekuasaanya tidaklah kekal. Daendels pergi digantikan penguasa lainnya. "Hai Mareskalek, burung yang terbang sangat tinggi itu ke bawah juga akhirnya dan matahari yang sangat tinggi itu turun juga nanti." rep:c85 ed: dewi mardiani