Kota Bogor menjadi salah satu kota istimewa di Jawa Barat, khususnya untuk warga DKI Jakarta. Udara yang relatif lebih sejuk dan jalan raya yang lebih lenggang menjadi tempat alternatif warga Ibu Kota untuk berlibur.
Tapi, itu Bogor 20-30 tahun lalu.Kini, wilayah di selatan Jakarta itu menggeliat. Pembangunan yang mem babat lahan-lahan penghijauan membuat kualitas udara di kota tersebut menurun. Kondisi itu diperparah dengan membeludaknya jumlah angkutan umum. Saking banyaknya, wilayah yang sebelumnya berjuluk Kota Hujan ini bersalin label menjadi Kota Seribu Angkot.
Tak sedikit yang menilai kehadiran angkot-angkot itu menjadi penyebab kemacetan di Kota Bogor. Namun, tudingan itu ditanggapi keras oleh Ketua Organisasi Gabungan Angkutan Darat (Organda) Kota Bogor M Ischak. Ia meng klaim, angkot bukanlah satusatunya penyebab kemacetan yang menghantui warga Bogor. "Saya menolak keras dengan tudingan ini. Karena, banyak faktor lain yang membuat kemacetan," ujar Ischak saat ditemui Republika, Kamis (4/9).
Mudah dan cukup murahnya masyarakat membeli kendaraan bermotor dinilainya juga ikut andil menyebabkan kemacetan di Bogor. Selain itu, ia memandang keberadaan pedagangan kaki lima (PKL) liar juga berperan besar dalam kemacetan.
Menurutnya, tanpa kehadiran angkot pun, Bogor akan macet karena banyaknya kendaraan bermotor yang memadati jalan-jalan. Diungkapkan Ischak, saat ini jumlah angkot di Bogor mengalami penurunan, menjadi 3.412 unit dari 3.506 unit.
Kendati begitu, ia mendukung program konversi angkot yang dicanangkan Pemerintah Kota Bogor guna mengurai kemacetan. Program itu nantinya bakal menjadikan angkot hanya sebagai feederdari Bus Transpakuan yang digadang-gadangkan menjadi transportasi utama Kota Bogor.
Meski mendukung rencana pemkot atas program konversi angkot, Ischak berharap pemkot memikirkan nasib para sopir angkot yang tidak lagi beroperasi.
Tidak hanya rencana konversi angkot yang membuat para sopir angkot uring-uringan. Rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sedang digodok pemerintah pusat dinilai bakal membuat para sopir angkot mengencangkan ikat pinggang. Tak hanya itu, Ischak menyebut para rekan seprofesinya terpaksa menaikkan tarif.
Namun, Ischak belum tahu berapa persen kenaikan tarif tersebut. Ia mengaku khawatir para penumpang beralih ke moda transportasi lain.
"Jika BBM benar-benar naik, akan memengaruhi tarif angkot di Kota Bogor," ujarnya kepada Republika, Kamis (4/9).
Penyesuaian tarif angkot akibat kenaikan harga BBM nantinya, menurut Ischak, seperti hukum alam. Jika tarif tidak dinaikkan, ia menyakini usaha angkot bakal ditinggalkan masyarakat yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Ia berharap pemerintah memberian subsidi khusus bagi angkot di Bogor. Sebab, saat ini saja pengusaha angkot harus menanggung beban suku cadang dan komponen kendaraan yang tidak murah. "Bagaimanapun angkot adalah milik masyarakat dan memiliki manfaat besar bagi masyarakat," tegasnya.
Berbicara kemacetan di Bogor, anggota Komisi B DPRD Kota Bogor, Sopian, punya pendapat serupa. Ia berpendapat, kurang arif rasanya jika hanya menyudutkan angkot sebagai penyebab kemacetan. "Banyak hal yang membuat macet di sini (Kota Bogor)," ujar Sopian kepada Republika, Kamis.
Ramainya kendaraan, baik roda dua maupun roda empat juga memiliki andil besar dalam kemacetan. Ia menjelaskan, sebaiknya ada peraturan yang jelas mengenai angkot, seperti usia angkot yang layak beroperasi hingga pembenahan koridor-koridor untuk setiap trayek. Pengawasan yang intens, menurutnya, mutlak diperlukan. Tujuannya untuk menjaga ketertiban angkot dalam beroperasi. rep:c84, ed:karta raharja ucu