Karya yang dipamerkan dalam gelaran peringatan 55 tahun Ikatan Arsitek Indonesia ini tidak hanya menyuguhkan goresan sketsa para arsitek dan barang-barang koleksi mereka. Ada pula esai yang mereka tulis tentang perkembangan arsitektur di Indonesia, salah satunya adalah esai karya Han Awal, salah satu arsitek pertama Indonesia.
Dalam esai ini Han Awal membahas tentang pemilihan desain untuk masyarakat kelas menengah ke bawah atau yang berpenghasilan rendah atau dia menyebutnya dengan "Arsitektur untuk si Miskin". Dia beranggapan bahwa arsitektur adalah cerminan dari masyarakat. Maka, mau tidak mau hal tersebut perlu dikaitkan dengan ciri karakteristik masyarakat tersebut.
Kemampuan ekonomi masyarakat tentu menjadi satu di antara pertimbangan untuk memilih arsitektur sebuah bangunan. Dalam penelitiannya, Han Awal menyimpulkan beberapa kriteria yang menjadi prioritas dalam mendesain "Arsitektur untuk Si Miskin".
Beberapa poin yang menjadi perhatiannya adalah besar unit yang fleksibel, lebar konstruksi yang optimal, fasilitas MCK atau dapur umur, penerangan listrik 60 watt per orang, dan kemungkinan unit untuk tumbuh ke atas atau ke samping.
Pemikiran Han Awal ini duwujudkan dalam ide shelter atau yang kini dikenal dengan rumah susun. Memang saat ini ide Han Awal sudah diwujudkan dengan pembangunan beberapa rumah susun di Jakarta, dan terbukti cukup efektif untuk mengatasi lonjakan jumlah penduduk yang cenderung tak beraturan. Saat itu, dalam menerapkan ide ini, Han Awal merujuk pada praktik yang sudah dilakukan di Puerto Rico dan juga di Yunani.
Seiring berjalannya waktu, arsitektur menyangkut berbagai aspek sosial yanga ada di masyarakat, tidak hanya estetika semata. Desain arsitektur modern sendiri awalnya mendapat penolakan dari masyarakat Eropa yang menganggap aliran art nuevo dan art deco, dinilai mengusung desain yang terlalu kaku.
Namun, usai Perang Dunia I dan terlebih II, saat banyak bangunan rusak, dunia secara umum mulai menerapkan arsitektur modern ini sebagai solusi pembangunan. Desain modern ini dinilai lebih mengedepankan kontrok kualitas dibanding keindahan semata.
Indonesia, sebagai negara yang terletak di kawasan tropis, menyaring semua pengaruh arsitektur dari Barat. "Iklim tropis membuat arsitek Indonesia berpikir juga agar gedung tidak panas, angin masuk," ujar Ruben selaku pengurus Ikatan Arsitek Indonesia. Hal ini pulalah yang mendorong banyak desain gedung di tahun 60-an yang banyak mengusung bangunan tropis: sinar matahari tertahan sekaligus angin leluasa masuk.
Kini arsitektur Indonesia meski banyak berubah, namun masih diupayakan agar tetap mengambil kearifan lokal yang tersimpan dalam bangunan-bangunan traidisional. rep:c85 ed: dewi mardiani