Meski hanya lulusan kelas 5 SD, Yanto (32 tahun) meneguhkan dirinya untuk tidak menjadi jongos. Dia memang hanya seorang pemulung. Tekadnya untuk bisa mandiri dibuktikannya dengan bekerja keras sepanjang hari.
Menjadi pemulung, kata dia, bukanlah bawahan bagi orang lain. Tetapi, pekerjaan Yanto itu kini tak sepenuhnya bisa disebut pemulung. Sebab, ia mendapatkan kardus dan botol plastik dengan cara membeli dari warung-warung di daerah Sunter, Jakarta Utara. ''Saya harus bisa,'' tegas dia, Kamis (23/4).
Dengan modal maksimal Rp 350 ribu sehari, Yanto membeli kardus dan botol plastik Rp 1.500 per kilogram. Ia menyortir botol-botol plastik, membuang label dan memisahkan tutup botol. Di pengepul, kardus dihargai Rp 2.000 per kilogram, botol plastik Rp 3.000 per kilogram, dan tutup botol Rp 1.500 per kilogram.
Dalam sehari, ia bisa mendapatkan 200 kilogram dengan keuntungan Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Uang hasil kerjanya itu ia kumpulkan untuk kebutuhannya sehari-hari di Jakarta dan kebutuhan istri serta tiga anaknya di Rangkasbitung, Banten.
Sejak sebulan lalu, ia tinggal sendirian di Jakarta. Istrinya pulang ke kampung karena kebutuhan hidup di Jakarta makin mahal. Putri pertamanya sejak tiga tahun lalu bersekolah di Pesantren Darul Ilmi, Banten.
Meski sendirian, dia tetap mengurus dirinya dengan baik. Dia tak lupa untuk makan dan membersihkan diri. Kemudian, dilanjutkannya dengan bekerja dengan maksimal.
Pengalamannya mengenyam bangku sekolah memang tak banyak. Namun, dia tetap belajar dengan aktif mengikuti pengajian di majelis taklim. Pemahaman tentang Islam yang Rahmatan lil 'alamin diserapnya. Dia ingin Islam dituangkan dalam perbuatan yang santun dan mengapresiasi kearifan lokal masyarakat sekitar.
Ia menginginkan anak-anaknya pintar dengan bersekolah di pesantren. Umat Islam baginya harus pintar segala hal dan ia berharap anaknya akan seperti itu.
Tiap bulannya, Yanto membutuhkan uang sebesar Rp 1,5 juta untuk kehidupannya di Jakarta. Uang sebanyak itu digunakan untuk kebutuhannya makan dan minum. Kemudian, membeli peralatan mandi dan mencuci. Jika pakaian kotor, dia harus mencuci sendiri.
Belum lagi, kebutuhan istrinya di kampung halaman sebesar Rp 1,3 juta. Kemudian, uang untuk biaya sekolah dan jajan anaknya di pesantren sebesar Rp 700 ribu. Lebih dari Rp 4 juta harus dikumpulkannya dalam sebulan. Itu belum termasuk tabungan yang harus ditambahnya setiap saat. Uang simpanan, menurutnya, diperlukan pada situasi mendesak.
Dengan uang Rp 1,3 juta dia bisa hidup di Jakarta. Caranya, Yanto tidur di mushala. Dia menjadi muazin atau tukang azan. "Saya harus azan pada waktu Maghrib, Isya, dan Subuh,'' ujar dia. Kemudian, dia melaksanakan shalat berjamaah. Doa tak dilupakannya setelah shalat selesai.
Untuk mandi, ia menumpang mandi di pengepul yang biasa membeli barang-barangnya. Setiap hari, dia selalu mandi dua kali. Dia selalu menyempatkan diri mencuci pakaian kotornya agar tidak menumpuk.
Dalam pandangannya, umat Islam di Indonesia harus bisa mandiri dan tidak mengemis. Ia sendiri, meskipun kesulitan uang, tidak pernah mau mengemis. Banyaknya pengemis di Ibu Kota, menurut Yanto, bukan sepenuhnya salah pemerintah. Kebanyakan orang yang menjadi pengemis itu karena mereka malas berusaha. Mereka ingin mendapatkan uang dengan mudah, tapi tak mau berusaha keras. Mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi enggan berusaha untuk orang lain.
Pengemis dinilainya sebagai perbuatan yang tak berdosa, tapi dibenci. Bagaimanapun keadaan orang, selama masih bisa berusaha, Tuhan akan selalu memberikan rezeki.
Saat ini, ia sedang mengumpulkan uang untuk membuka usaha makanan ringan kecil-kecilan. Rencananya, ia akan merintis pekerjaan ini setelah Lebaran nanti. Semua ini dilakukannya agar bisa mandiri. "Jangan jadi jongos. Harus mandiri," kata Yanto bersemangat. c37 ed: Erdy Nasrul