Ingin membangkitkan kenangan lama. Begitulah yang selalu dibicarakan para pengunjung dan pembeli ketika mendatangi lantai basement Blok B di Blok M Square, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka yang datang biasanya merupakan peminat maupun kolektor alat musik klasik, seperti gramofon (piringan hitam tebal), piringan hitam, kaset pita, maupun compact disk (CD).
Menyusuri lantai basement itu sebenarnya sangat asyik lantaran diiringi suara menggema berbagai aliran musik yang diputar setiap toko. Sejak siang hingga malam hari, sekitar 13 ruko penjual kaset lawas tak henti-hentinya memutar lagu.
Salah satu penjual alat musik tua tersebut bernama Ariyanto (33 tahun). Dia sudah sekitar 2,5 tahun berjualan di lokasi sekarang. Sebelumnya, ia pernah berjualan di Taman Puring sejak 2001.
Ariyanto mengatakan, orang-orang yang berkunjung ke tokonya selalu terbawa suasana nostalgia, khususnya musik tahun 1970-an. Karena memiliki calon pembeli dengan segmen khusus, ia tidak takut untuk dengan beragamnya pemutar alat musik keluaran terbaru. Kemajuan teknologi tidak membuatnya ciut untuk menjual dagangannya yang terbilang klasik.
Dia tidak memungkiri pembeli maupun kolektor barang yang dijualnya didominasi usia tua, namun tidak sedikit yang berusia belasan tahun. "Pembelinya tidak membedakan-bedakan, dari anak muda sampai orang tua, mereka berusia antara 15 sampai 60 tahun," ujar Ariyanto, belum lama ini.
Ariyanto mengatakan, para pembeli alat musik klasik maupun kaset pita ingin bernostalgia dengan masa lalunya. Namun, untuk pembeli kaum muda biasanya mereka ingin mengingat musik yang digemari orang tuanya yang telah meninggal.
Dia mengaku, awal mula berdagang alat musik klasik dimulai dari hobi mendengarkan segala macam musik. Ketertarikannya terhadap dunia musik membawanya menjadi seorang penjual kaset bekas maupun baru. Setelah itu, insting bisnisnya bermain, hingga mulai berjualan beragam alat musik yang dulu diburunya.
Ariyanto memiliki gramofon pidato Sukarno keluaran tahun 1945 sampai kaset maupun CD keluaran 2016. Koleksi sang proklamator saat membacakan teks proklamasi untuk pertama kalinya itu dihargai Rp 3 juta. Dia menjelaskan, setiap kali mendengarkan langsung suara proklamasi kemerdekaan dari gramofon membuat bulu kuduknya merinding. Di luar itu, harga barang yang dijua tokolnya bervariasi antara Rp 25 ribu sampai Rp 250 ribu.
"Kalau keluaran terbaru tergantung dengan harga sesuai keinginan artisnya sedangkan keluaran lama harganya gelap (tergantung seberapa besar peminatnya dan banyak pemburunya)," kata penyuka The Beatles, The Doors, dan Pink Floyd ini.
Di sela obrolan dengan Republika, Ariyanto yang mengenakan kaus putih santai terlihat sesekali bernego harga dengan pembelinya, baik kalangan tua ataupun muda. Dia menjelaskan, kadang ada juga pembela dari kalangan asing. Tentunya mereka di antar guide yang menjadi penerjemah pembicaraan antara penjual dan pembeli.
Dia menyatakan, dirinya dan rekan-rekannya sesama penjual tidak pernah takut dengan kemajuan teknologi, seperti MP3, Youtube, maupun fasilitas pemutar lagu gratis di internet. Itu lantaran calon pembeli yang datang ke tokonya identik dengan kelompok kolektor kaset. Dia tidak memungkiri, sejak musik dengan mudah diunduh di internet, dampaknya membuat industri kaset turun drastis.
Untuk mempertahankan usaha tokonya, ia setiap harinya rajin berburu kaset untuk melengkapi koleksi dagangannya agar dilirik orang. Dia melanjutkan, kadang ada juga orang yang datang ke tokonya untuk menjual kaset lama karena butuh uang. Dia pun dengan senang hati membelinya, asalkan harganya sesuai.
"Karena mereka yang datang ke sini ingin mengoleksi fisiknya," katanya. Dia memiliki keyakinan, sesuatu yang klasik memiliki daya tarik tersendiri. Sehingga, para kolektor akan terus berdatangan ke tempat jualannya.
Penjual alat musik klasik sekaligus toko kaset, Agus Susanto (32) menyatakan sudah lima tahun berjualan di Blok M Square. Penyuka lagu-lagu dari Harry Rusly dan Dara Puspita ini mengatakan, sejak SMP sudah senang mengoleksi kaset-kaset lama.
Berawal dari hobi memiliki piringan hitam, kaset lama maupun baru, ia mencoba untuk menemuki bisnis berjualan alat musik klasik maupun kaset kuno dan baru. Berdasarkan interaksinya dengan pembeli, Agus menjelaskan, pelanggannya biasanya tidak puas dengan kualitas MP3 hasil unduhan di internet. Karena itu, tidak sedikit dari mereka memilih membeli kaset aslinya, dalam bentuk piringan hitam, kaset pita, ataupun CD. "Kalau orang membeli di sini karena ingin koleksi. Kalau MP3 (unduhan) tidak dapat dikoleksi karena tidak ada kesan klasiknya," tutur Agus.
Di tokonya, koleksinya lumayan lengkap. Deretan album artis tahun 1970-an sampai tahun 2016, tersedia di tokonya. Meskipun hasil penjualannya tidak menentu, ia tetap optimistis bisnis yang dijalaninya tidak akan mati. "Meskipun harga naik-turun, saya tetap optimis peminat kaset masih banyak," katanya penuh percaya diri. n c21 ed: erik purnama putra