Selasa 14 Apr 2015 15:55 WIB

Febri Hendri, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch: Semua Kecurangan Tender Tercatat di E-Budgeting

Red:

Korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa (procurement) adalah jenis korupsi yang paling jamak di Indonesia. Belakangan, mencuat kasus pengadaan uninterruptible power supply (UPS) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta yang memicu polemik antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan DPRD DKI Jakarta. Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri akan menjelaskan kasus yang juga diinvestigasi oleh ICW ini kepada wartawan Republika, Mas Alamil Huda.

ICW melaporkan ke KPK soal dugaan korupsi APBD DKI Jakarta, apa temuannya dan sejak kapan ICW melakukan investigasi?

Kemarin, mencuat isu soal polemik Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta. Di mana, Gubernur (Basuki Thahaja Purnama/Ahok) mengajukan APBD, dia bersedia, tapi DPRD tidak. Kemudian, ada pokir (pokok pikiran) dari DPRD ke Gubernur. Kemudian, kami telusuri dan kita bandingkan pokir APBD 2015 dan 2014. Kita lihat item, ternyata mata belanjanya itu sama dan terulang pada 2015.

Kami telisik lebih dalam ternyata ada yang janggal. Ini memang kami baru lihat di Komisi E atau mitranya Dinas Pendidikan. Kami menemukan 484 mata anggaran yang janggal di Sudin Pendidikan. Dari 484, ada pengadaan UPS 51. Ada printer, scanner, dan buku.

Mata anggaran itu sama persis di APBD pada 2014 dan 2015?

UPS persis, tapi lokasinya berbeda. Pada 2014 di sekolah A tapi 2015 di sekolah B, hanya beda lokasinya saja. Dan, itu kita temukan di mata angaran 2015 versi DPRD. Di versi Ahok, kita nggak menemukan.

Bisa dijelaskan modus dari kasus ini?

Ada tahap perencanaan dan penganggaran. Di situlah dibahas ada pokir. Dan, kemudian disahkan menjadi APBD/APBDP. Kemudian, masuk tahap pengadaan. Nah, di pokir itulah masuk UPS dan segala macam. Setelah pengadaan, masuk SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang ada namanya pejabat pembuat komitmen (PPK). Untuk lelang, PPK harus membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Untuk membuat HPS, harusnya berdasarkan survei harga pasar atau harga yang wajar.

Dalam kasus UPS, PPK menetapkan HPS berdasarkan harga yang diajukan tiga distributor, yakni PT Offistarindo Adhiprima, PT Istana Multi Media, PT Duta Cipta Artha. Setelah dia membuat HPS, baru kemudian diadakan lelang. Ketika lelang, ada peserta lelang mengajukan harga penawaran. Di sini, ketiga PT tersebut mengatakan bahwa HPS yang wajar untuk UPS Rp 5,9 miliar per unit.

Masalahnya adalah tiga PT tadi yang akan mendukung peserta lelang. Sebagian besar peserta lelang dari tiga perusahaan ini. Pemenang lelang itu dapat barang dari ketiga ini. Mereka (pemenang lelang) tidak punya kemampuan mengadakan UPS. Dia perusahaan kecil-kecil yang sebenarnya tidak mampu mendatangkan barang. Akhirnya, kerja sama dengan ketiga PT itu tadi. Jadi, 35 pemenang tender, ada satu perusahaan menang di dua sekolah, itu ketiga itu saja pendukungnya.

Kalau buku, satu paket buku HPS-nya Rp 490 juta. Di pengadaan buku cuma satu perusahaan untuk menentukan HPS, yakni PT Fotex Solusi. Sebenarnya, modusnya ini konvensional dan nekat.

Persyaratan untuk menentukan HPS dengan melibatkan tiga perusahaan tadi sudah memenuhi ketentuan?

Ada Perpres Nomor 70 Tahun 2012. HPS digunakan untuk menilai penawaran yang masuk. Kalau terlalu rendah penawarannya berarti tidak wajar. Ketika dapat dokumen surat penawaran, kita bandingkan dengan pengadaan UPS di beberapa tempat. Contoh, ada PT Waskita Karya di proyek pengerjaan desin dan build terminal selatan fasilitas Bandara Juanda dengan pemenang PT Daya Perkasa 2012.

Pengadaan UPS 200 KiloVolt merk Borry 3 Phase, dua unit. Satu unitnya 74.500 dolar AS. Berarti, kalau kurs rupiah sekarang Rp 13 ribu maka per unitnya tidak sampai Rp 1 miliar. Penawaran mereka (DPRD), 120 KV ampere. Di SMKN, 51 pemenang tendernya PT Karunia Lautan Semesta, distributornya PT Istana Multi Media.

Jadi, itu semua sudah dibagi-bagi lapaknya. Sejak awal, ketika menyusun perencanaan, mereka sudah bertemu. Diduga, sudah kongkalikong dengan pengusaha namanya HL dengan anggota DPRD dengan Kepala Seksi Sarana Prasarana Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat berinisial AU. Ketika pengadaan dia jadi PPK. Jadi, ketiga kelompok, yakni Kasie, pengusaha, dan anggota DPRD bertemu di satu tempat.

Prosedur memilih perusahaan yang dijadikan referensi untuk menentukan HPS itu sepenuhnya di PPK?

Tidak. Prosedur untuk memilih perusahaan-perusahaan itu adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP). PPK mengajukan ke ULP, "Tolong dong diadain lelang". Diajukan di situ HPS-nya berapa. Kemudian, peserta mengajukan dokumen penawaran dan di-upload. Kemudian, diperiksa mana yang lolos dan tidak. Yang paling rendah menang. Dalam pengadaan UPS di sekolah di Jakarta, ULP sebelumnya sudah bilang ke PPK bahwa HPS untuk UPS itu kemahalan. Ada suratnya.

Ada dokumen dari ULP yang menyatakan HPS untuk UPS kemahalan?

Bahasanya bukan kemahalan, tapi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kata orang ULP, itu kemahalan. Atas surat ULP, PPK yakni ZS dan AU menjawab surat ULP yang intinya, "Saya yang tanggung jawab".

Ahok melaporkan adanya dugaan korupsi ini mulai anggaran 2012, investigasi ICW sampai anggaran 2012?

Belum sepenuhnya. Pada 2015 Dinas Pendidikan saja, 484 mata anggaran dengan anggaran Rp 1,9 triliun. Ini baru 49 UPS, belasan scanner, dan juga buku. Jadi 100 saja memang belum. Ini baru Dinas Pendidikan, belum Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum dan lain-lain. Tapi, memang yang paling besar anggaran di Dinas Pendidikan.

Dalam kasus ini siapa pihak yang paling harus bertanggung jawab?

Legislatif atau politisi, birokrasi atau eksekutif, dan pengusaha itu.

Kalau birokrasi apakah bukan pemimpin tertingginya yang harus bertanggung jawab?

Bisa saja hal-hal detail itu terlewat oleh gubernur. Dan, modusnya kan mata anggaran itu disusup-susupkan. Mata anggaran di DKI Jakarta satu tahun itu puluhan ribu. Tidak mungkin pimpinan satu per satu melihat. Itu mengapa mata anggaran diselip-selipkan karena itu. Itulah kenapa ada e-budgeting. Karena banyak puluhan ribu. Kalau berubah akan ketahuan mana yang berubah dan siapa yang mengubah. Orang yang mengubah ketahuan, kapan, alasannya apa bisa ditelusuri.

Bagaimana dengan korupsi anggaran pendidikan di daerah, apakah ICW ada data terkait itu?

Sama saja modusnya. Kasus Jakarta ini unik karena kami bisa akses dokumen pengadaan. Daerah sama. Mata anggaran banyak. DPRD dengan kepala daerah punya kuasa untuk menyelip-nyelipkan itu. Apalagi tidak ada e-budgeting. Tapi, sangat mungkin polanya sama. Seperti di kasus Hambalang, dimasukkan dalam anggaran multiyears.

Kalau di daerah kami mengindikasikan sama. Terutama modusnya. Penyusupan anggaran lewat pokir terjadi di daerah. Kemudian, modus dalam pengadaan juga sama. Kami mengajak kawan daerah untuk mendorong pemerintah daerahnya menerapkan e-budgeting. Kami juga ingin agar pemerintah pusat mengeluarkan PP atau Perpres.

Itu baru korupsi anggaran, belum korupsi kebijakan. Ini juga banyak terjadi. Ini bisa dipantau oleh kawan-kawan daerah. Lihat gaya hidup pejabat daerah, apakah sesuai dengan profil pendapatannya. Itu dijadikan dasar awal dulu. Karena, kalau korupsi anggaran bisa dilacak. Kalau suap tidak mudah, kalau tidak tertangkap tangan. Jadi, pertama dorong e-budgeting. Karena, semua kecurangan apabila terjadi penyusupan anggaran akan tercatat di situ. Dan, itu akan memudahkan penyidikan. Kalau selama ini tidak tercatat dengan baik. Kalau elektronik tercatat. Semua akan ketahuan.

Ada dasar hukum penggunaan e-budgeting?

Presiden bisa membuat PP atau minimal Perpres. Kalau Pemprov DKI Jakarta sejauh ini hanya sebatas Pergub, jadi kurang kuat. Masalahnya, kalau pakai e-budgeting secara nasional, politisi kita mau atau tidak? Pengusaha 'hitam' mau tidak? Pasti ribut. Jakarta saja gara-gara ini ribut. Gara-gara ini/ pendapatan politisi berkurang.

Anggaran negara untuk pendidikan 20 persen, ada hitung-hitungan dari ICW berapa potensi kerugian negara akibat korupsi dana pendidikan?

Kita hitung sekitar 30-40 persen hilang. Anggaran pendidikan sekitar Rp 400 triliun, Rp 250 triliun ditransfer ke daerah. Sebanyak 30-40 persen dari jumlah itu hilang. Rp 100 triliun lebih hilang.

Apa yang paling rawan dikorupsi di sektor pendidikan?

Yang paling rawan adalah pembangunan gedung sekolah, pengadaan buku, pengadaan multimedia, seperti alat-alat laboratorium dan macam-macam.

Apa yang harus dilakukan pemerintah dan penegak hukum soal maraknya korupsi di dunia pendidikan?

Kalau dalam kasus di Jakarta, sejauh ini kita melihat masih lambat. Kalaupun sudah ada penetapan tersangka, masih lambat. Bareskrim harusnya sudah memanggil anggota DPRD. Kasus korupsi ini, mainnya tidak hanya UPS, tapi banyak yang lain.

Dan, yang paling penting untuk pencegahan adalah pemerintah daerah di seluruh Indonesia menerapkan sistem e-budgetting. Kemudian, penegak hukum akan mengawasi di situ. Itu akan lebih mudah untuk dilakukan pengawasan dan dijadikan alat bukti untuk penyidikan jika dibutuhkan.

Dampak paling nyata dari korupsi di sektor pendidikan ini apa?

Kembali lagi masyarakat yang banyak dirugikan. Banyak sekolah tidak sesuai standar. Gedung bangunannya tidak sesuai, sarana prasarana. Harusnya, kalau anggaran pendidikan benar-benar digunakan sebagaimana mestinya, sekarang tidak perlu ribut membayar sampai SMA. Anggaran dari APBN cukup untuk meng-cover seluruhnya. Tidak ada lagi alasan anak tidak sekolah karena tidak mempunyai biaya.

Untuk kasus UPS, polri sudah menangani lebih dulu. Menurut ICW, KPK lebih baik ambil yang mana?

Kami laporkan ke KPK juga. KPK punya kewenangan supervisi. KPK harus masuk semua mata anggaran. Karena, tidak mungkin polisi menangani semua ini. KPK harus masuk di item yang lain. Ada 484 mata anggaran di Dinas Pendidikan yang bisa diselidiki. ed: Andri Saubani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement