REPUBLIKA.CO.ID,LONDON - Lucy Osborne, seorang jurnalis lepas dan penulis ficer, selama beberapa bulan terakhir ini telah mewawancarai perempuan-perempuan di Inggris yang memilih untuk memeluk Islam. Aisha, seorang guru berusia 30 tahun, merupakan salah satu mualaf yang diwawancarainya.
Aisha mengaku sudah memeluk Islam sejak 10 tahun lalu. Dia pun mengganti namanya ketika menikah seorang pria Muslim. ''Beberapa orang berpikir bahwa saya adalah seorang teroris dengan bom di balik gaunku. Anak laki-laki meledekku dengan membuat suara bom ketika aku jalan melewati mereka,'' cerita Aisha.
Meski mereka dapat melihat mata biru dan kulit putih Aisha, sebagian dari mereka masih tidak percaya bahwa Aisha adalah orang Inggris. Meski mendapat perlakuan kurang baik dari sebagian orang Inggris, Aisha mengaku tidak menyesal dengan pilihannya untuk memeluk agama Islam.
Aisha pun beruntung karena keluarganya sangat terbuka dan liberal. Tetapi, ibunya masih sering meminta Aisha melepas jilbabnya ketika ada tetangga datang ke rumah mereka. ''Jadi, tetangga tidak akan mengetahuinya,'' katanya.
Pandangan Miring
Tulisan Lucy Osborne, yang dikirimkan ke The Times, ingin mengupas soal peningkatan jumlah perempuan Inggris yang memeluk Islam. Meski trennya cukup tinggi, para mualaf tersebut masih dipandang dengan penuh kecurigaan.
Laporan Faith Matters menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam mampu beradaptasi dengan kehidupan Barat. Namun demikian, laporan juga menyimpulkan bahwa sebanyak 32 persen pemberitaan tentang Muslim itu dikaitkan dengan terorisme dan ekstrimis sejak insiden Serangan 11 September 2001 pecah. Persentase tersebut meningkat jika pemberitaan tersebut bercerita tentang para mualaf.
Sarah Joseph, editor majalah lifestyle yang juga seorang mualaf, menyebutkan banyak pemberitaan yang menyudutkan Islam. ''Banyak sekali tulisan tentang Islam yang menindaskan kaum hawa,'' katanya. ''Saya sejujurnya tidak mendapati hal tersebut. Saya justru mendapat kebebasan dalam Islam.''
Sarah menilai kaum wanita selama ini dimarginalkan oleh budaya dan bukan oleh agama. Mereka terpinggirkan karena mitos-mitos yang dibuat dengan kepentingan politik dan tekanan.
Mualaf Feminis
Aisha, yang merupakan seorang guru dan ibu tiga anak dari Southampton, mengatakan dirinya tetap seorang feminis meski telah memeluk Islam. Dia menyatakan tidak boleh ada kaum wanita yang ditekan untuk melakukan sesuatu melawan keinginannya.
''Wanita itu seharusnya dinilai dari tingkat humor dan intelektual mereka. Mereka bukan dinilai dari ukuran buah dada atau rok mereka,'' katanya. ''Nilai-nilai tersebut yang membuat Islam begitu memberdayakan kaum wanita.''
Aisha mengakui bahwa ada orang yang memandang dirinya bodoh karena memilih untuk memeluk agama Islam. Tapi, Aisha balik menegaskan bahwa kaum wanita yang memeluk Islam itu kebanyakan adalah kalangan terpelajar. Mereka rata-rata adalah wanita-wanita mapan dengan pekerjaan bagus.
Lagi pula, tambah Aisha, Islam sebenarnya sama dengan Kristen dalam beberapa hal. Karena itu, menjadi mualaf bukan sebuah perubahan dramatis dalam kehidupan Aisha. ''Nilai-nilai utama seperti tidak egois, saling membantu dan kekeluargaan terdapat dalam dua agama tersebut,'' katanya.