REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Di pengadilan, seorang koruptor dengan lihainya terus bermain sandiwara agar lolos dari penjara. Di gedung rakyat, selusin tokoh politik saling lontar hujat untuk melumpuhkan lawan. Sementara di dunia maya, seorang aktivis tidak henti bersuara menyerukan kabar yang memilukan asa.
Semua hal di atas adalah kenyatan konsumsi harian masyarakat kota di Indonesia. Hanya sedikit ruang publisitas untuk menceritakan kisah kegemilangan, yang ada hanya kesedihan. Entah mengapa, yang jelas makin hari kabar lara menyapa masyarakat se-antero nusantara.
Terakhir, kesedihan masyarakat makin bertambah dengan kekalahan memalukan tim sepak bola Indonesia atas Bahrain 0-10 di ajang kualifikasi Piala Dunia. Segala kabar buruk ini memantik reaksi masyarakat. Ada yang mengkritik, menghujat, bahkan antipati atas negara yang mulai krisis prestasi.
Inikah indikasi bahwa bangsa ini telah mulai hilang kepercayaan diri ? Percaya atau tidak, segala kabar miring yang kini direpon masyarakat dengan cacian, tidak selamanya menandakan masyarakat telah hilang optimisme pada negaranya.
Sebaliknya, masyarakat Indonesia tetap memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi untuk bangkit. Hasil survey Nilsen menyebut, Indonesia sebagai negara nomor tiga paling optimis di dunia. Indonesia hanya kelah dari Arab Saudi dan India dalam urusan percaya diri.
Dengan segala minus yang ada, masyarakat masih menaruh harap yang tinggi pada kebangkitan Indonesia, termasuk di bidang sepak bola. Sebagai contoh, bagaimana mahasiswa asal Surabaya memiliki jalan pintas agar sepak bola Indonesia bisa berprestasi di level dunia. Segala jerih payah upaya mereka curahkan sehingga lahir sebuah ide besar.
Para mahasiswa ini optimis Indonesia akan tampil di Piala Dunia Sepak Bola pada Juni nanti di Meksiko! Namun sayangnya ajang piala dunia yang diikuti bukan untuk manusia melainkan, robot.
Mungkin mereka sadar, untuk ukuran sepak bola normal, Indonesia masih butuh waktu mengingat manusia yang harusnya mengurus prestasi malah sibuk dengan konflik organisasi. Alhasil mereka ciptakanlah robot yang bernama Eros yang mampu menendang, menggiring, dan menagkap bola seperti aksi seorang kiper.
Robot ini dijamin tidak akan memprotes wasit, berkelahi, ataupun mangkir berlatih. Eros diprogram dengan disiplin tinggi untuk menghasilkan prestasi di atas lapangan mini.
Pertanyaan pun muncul, apakah hanya robot yang mungin membawa Indonesia berprestasi di tingkat dunia? Jawabannya tentu tidak.
Sekalipun negara ini kering prestasi sepak bola, namun bukan berarti nusantara sepi dari talenta. Sudah banyak bukti bagaimana bocah dari ujung Sabang hingga Merauke mampu mengharumkan merah putih di ajang internasional.
Terakhir tim U-17 Indonesia mampu meraih gelar juara di invitasi sepak bola Hongkong, awal 2012. Selain U-17, masih ada pula kisah kesuksesan tim U-12 di sejumlah gelaran Piala Dunia Danone yang mampu mengalahkan tim kuat Eropa.
Dengan segala bakat melimpah manusia di nusantara, sudah pasti ada potensi besar bagi negara ini untuk berbicara di level dunia. Namun yang jadi pertanyaan, mengapa segudang talenta ini belum terolah untuk mencetak prestasi saat dewasa? Alih-alih prestasi sepak bola, Indonesia kini malah dikenal dunia dengan kekalahan 10-0 di Manama.
Banyak faktor yang bisa menjawab anomali prestasi pemain di usia muda dengan krisis prestasi di level senior. Salah satu faktor utama adalah belum sumber daya pengurus yang mampu membina mereka.
Pengurus sepak bola yang ada kini lebih menyerupai politisi ketimbang pamong olagraga. Celakanya lagi, sikap ini menyebar hingga kepengurus sepakbola propinsi hingga kota di nusantara. Tidak mengherankan bila didapati tokoh politik lokal 'nyambi' sebagai pengurus sepak bola.
Walhasil segala prestasi sepak bola yang mandek jadi keniscayaaan mengingat pengurusnya sibuk berpolitik ketimbang membina. Pun halnya polemik yang terjadi antara sesama pengurus PSSI baik pusat maupun di dearah. Rasanya inilah titik krusial krisis prestasi sepak bola Indonesia.
Kekalahan 0-10 dari Bahrain pun jadi puncak dari fenomena gunung es. Tidak logis rasanya menyalahkan para pemain dan pelatih atas segala keterpurukan sepak bola.
Kesalahan utama justru terletak pada pengurus yang tidak mampu membina bakat, mental, dan teknik pemain muda agar terus menanjak di level senior. Sebaliknya , prestasi para pemain muda justru dijadikan komoditas politik untuk pamer kesuksesan.
Walhasil kini saatnya seluruh elemen sepak bola Indonesia untuk jeli dalam melakukan perbaikan. Perubahan besar-besaran perlu dilakukan bukan hanya di pucuk organisasi, namun juga di seluruh dearah. Indonesia butuh pengurus sepak bola dengan jiwa olahraga tinggi untuk mendepak para birokrat sepak bola.
Dengan jalan itu, barulah kita berharap bakat muda yang ada di nusantara bisa dibina untuk mengangkat prestasi Indonesia menjadi mendunia.Kalaupun semua jalan itu sulit dilakukan. Maka kita tinggal bisa berharap pada mahasiswa asal Surabaya agar segera menghentikan produksi robot pemain, menjadi robot pengurus sepak bola.
Apabila memang sulit dicari manusia yang mampu membina sepak bola dengan semangat olahraga, lebih baik ciptakan robot yang diprogram mampu memimpin sepak bola menuju prestasi. Robot pengurus sepak bola yang taat aturan, berdisiplin, dan dedikasi tinggi untuk mengantarkan kebangkitan sepak bola Indonesia.