REPUBLIKA.CO.ID, Dialog Antarakeyakinan tingkat regional (Regional Interfaith Dialogue atau RID) ke-6 dibuka oleh Wakil Menteri Luar Negeri, Wardana, di Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/3). Acara ini dihadiri oleh para utusan dari 14 negara termasuk Australia. Sebelum acara, ketua delegasi Australia, Tim Fischer, meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara lewat surat elektronik dengan Republika. Berikut petikan perbincangan dengan mantan deputi perdana menteri (1996-1999) yang kini menjadi Duta Besar Australia untuk Tahta Suci Vatikan (2008-2012).
Apa tantangan terbesar untuk membangun saling memahami antarumat beragama di kawasan kita?
Tantangan terbesarnya adalah mengatasi prasangka yang telah sekian lama berkembang dan kerap diperbesar oleh pencitraan media. Padahal, ketika orang duduk bersama dan berdialog maka yang kerap terjadi adalah mereka justru menemukan beraneka persamaan yang menajdi modal dasar untuk membangun.
Biasanya dialog antarkeyakinan hanya sukses terjalin di kalangan elit, namun tidak demikian dengan kalangan akar rumput. Apa pendapat Anda?
Memang benar, bahwa tidak ada gunanya memiliki kontak di tingkat atas tanpa adanya kontak yang diturunkan ke semua level yang di bawahnya. Harus ada upaya khusus untuk memastikan dan mendorong para pemimpin agama agar melakukan kontak dan memberi contoh kepada para pengikutnya tentang indahnya dialog antarkeyakinan.
Kini RID sudah memasuki kali keenam. Apa hasil yang diperoleh selama ini?
Di Mindanao selatan terjadi kemajuan, berkat sejumlah program praktis yang disponsori Australia untuk mempromosikan dialog antarkeyakinan pada tingkat akarrumput. Namun sebetulnya masih banyak lagi yang bisa kita lakukan. Sejak RID di Perth, sesuai dengan rencana aksi kita, sebuah website tentang jaringan antarkeyakinan di tingkat regional didanai pemerintah Australia dan sudah dilihat oleh ribuan pengunjung.
Di Indonesia, masalah agama bukan saja masuk ke wilayah pribadi, namun ini masalah yang sensistif. Seberapa jauh, berbagi pengetahuan tentang agama menjadi “ancaman” bagi kerja sama antarkeyakinan?
Saya lebih suka menjawab pertanyaan ini sampai acara kami di Semarang dan sampai saya bisa memahami lebih dalam mengenai konteks pertanyaan ini.
Dalam beberapa konflik keagamaan, namun konflik itu bukan hanya soal agama. Misalnya politik juga berperan di konflik Irlandia utara. Atau ekonomi dan sumber daya alam yang berperan dalam konflik di Nigeria dan Sudan. Menurut anda?
Tidak diragukan lagi, memang ada perpaduan dari factor-faktor yang rumit dalam konflik di Irlandia –yaitu ekonomi, politik, dan agama- demikian juga di Nigeria dan Sudan, termasuk Mesir. Setiap langkah praktis yang bisa kita lakukan dengan dialog antarkeyakinan akan membantu untuk meringankan beban konflik.
Bagaimana pandangan Anda tentang Islam?
Perspektif saya, Islam adalah agama yang kaya dan merangkum semua aspek. Semua itu tercermin dalam sejarah dan budaya Timur tengah dan sekarang juga banyak di berbagai belahan dunia. Ketika saya mengunjungi Lembah Yordania dan Gunung Nebo, saya merasakan ada keterikatan dengan Perjanjian Lama dan Islam serta agama-agama lainnya yang diturunkan dari keturunan Nabi Ibrahim.
Doktor Surin Pitsuwan –mantananggota parlemen Thailand yang kemudian menjadi menteri luar negeri lalu sekarang Sekjen ASEAN- yang member saya gambaran lebih baik tentang memahami Islam yang sebelumnya asing bagi saya.
Lebih dari 25 tahun saya membangun pemahaman ini melalui inisiatif pribadi dan juga dalam tugas-tugas saya, khususnya dalam tugas sebagai Dutabesar Australia untuk Tahta Suci Vatikan. Termasuk di dalamnya memimpin para duta besar di Asia raya, yang sebagian besar adalah Muslim, misalnya Duta Besar Iran yang tak lian adalah seorang Mullah Syiah.
Apa harapan Anda akan peran Indonesia?
Saya berharap, Indonesia terus memberikan dorongan untuk berperan dalam aktivitas antarkeyakinan, terus membangun sejak RID pertama yang juga diselenggarkan bersama Indonesia di Indonesia pada 2004. Ratusan warga Australia memilih berlibur di Indonesia setiap tahunnya karena mereka menyukai keberagaman, kedamaian, kemajuan dan dinamika social masyarakatnya. Kami berharap Indonesia melanjutkan semua ini termasuk dalam peran memimpin sebagai penstabil di kawasan. Saya ingin tambahkan, saya bangga dengan kegiatan antarkeyakinan ini, namun jelas bahwa ada banyak hal lain yang bisa kita lakukan.