REPUBLIKA.CO.ID, Jika empati tersebut muncul, maka tumbuh benih-benih saling kasih-mengasihi dan mendorong untuk membantu kaum dhuafa. Ibnu Al-Qayyim menegaskan, bahwasanya puasa membelalakkan mata hati kita terhadap penderitaan dhuafa.
Fikih Ramadhan
Syekh al-Qaradhawi menjabarkan perkara-perkara mendasar yang berkenaan dengan puasa Ramadhan. Termasuk, jawaban atas permasalahan seputar puasa ditinjau dari hukum fikih.
Soal berapa jumlah hari bulan Ramadhan misalnya, Qaradhawi menjelaskan bahwa berdasarkan hitungan kalender Qamariyah, jumlah hari di penanggalan tersebut minimal 29 hari dan maksimal 30 hari. Tidak lebih dan tidak kurang.
Rasulullah menegaskan itu di beberapa kesempatan, baik berupa perkataan maupun isyarat. Di antaranya adalah hadits riwayat Abdullah Ibnu Umar dan hadits Ibnu Salamah. Kedua hadits tersebut disepakati oleh Bukhari-Muslim dan terdapat dalam kitab Al-Lu’lu wa Al-Marjan.
Bilangan itu pun ditegaskan oleh Abdullah bin Mas’ud. Ia mengatakan bahwa Rasulullah dan para sahabat lebih sering berpuasa Ramadhan 29 hari daripada 30 hari. Tidak kurang ataupun melampui batas itu.
Qardhawi menyebutkan beberapa metode penentuan hilal awal Ramadhan (itsbat) yaitu rukyat, menyempurnkan 30 hari, dan metode hisab. Lantas kuatkah metode hisab? Menurut Qardhawi, makna metode hisab sebenarnya tertuang dalam hadits riwayat Abdullah bin Umar yang dinukil oleh Bukhari.
Dalam hadits tersebut terdapat perintah untuk memperkirakan dengan kata faqduru lah. Menurut Syekh Qardhawi, pemaknaan kata tersebut bisa berupa penggunaan hisab ataupun istikmal. Makna hisab dikuatkan oleh para Tabi'in, antara lain, Ibnu Suraij dan Ibnu Qutaibah. Meskipun penafsiran itu sempat disanggah oleh Imam An-Nawawi yang tidak setuju dengan pemaknaan kata tersebut sebagai legalitas hisab.
Menurut An-Nawawi, penggunaan hisab sebagai metode penetapan hilal saat ini sangat mungkin dilakukan. Bukan hanya karena ketidakterkaitannya dengan ilmu perdukunan ataupun perbintangan yang diharamkan, tetapi lebih dari itu, tingkat akurasinya yang tinggi. Karenanya, penggunaannya pun diakui oleh para ulama masa kini.
Bahkan, Syekh Ahmad bin Muhammad Syakir mengatakan, metode hisab lebih akurat dan memungkinkan untuk meminimalisasi perbedaan antar umat Islam akibat perbedaan wilayah. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Musthafa Az-Zurqa.