REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya
Dinasti al-Murabitun berawal dari sekelompok pejuang yang jumlahnya tak lebih dari 1.000 orang.
Dinasti Al-Murabitun atau Almoravids adalah salah satu dinasti Islam besar yang muncul pada pertengahan abad ke-5 H atau awal abad ke-11 M. Pada masa keemasannya, wilayah kekuasaan dinasti itu mencakup Sudan di selatan hingga Pegunungan Pirenia di utara, dan Samudera Atlantik di barat hingga perbatasan Tunisia di timur.
Menurut Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah, Dinasti Al-Murabitun didirikan oleh propagandis pemurnian ajaran keagamaan yang dipimpin oleh Yahya bin Ibrahim al-Jaddal, Abdullah bin Yasin, dan Yahya bin Ibrahim. Dinasti iitu berkuasa selama hampir 93 tahun, yakni dari 448 H hingga 541 H (1056-1147 M).
Dinasti itu mencapai puncak kejayaannya di era pemerintahan Yusuf bin Tasyfin. Al-Murabitun muncul di era meredupnya kejayaan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Saat itu, Adidaya bernama Abbasiyah melemah dan mengalami disintegrasi. Pada saat yang sama, kejayaan Dinasti Fatimiyah yang berpusat di Mesir juga telah surut.
Melemahnya kekuatan politik Islam di kawasan Timur Tengah itu dimanfaatkan oleh kaum Nasrani Eropa untuk menggencarkan Perang Salib guna merebut kota-kota suci di Palestina dan wilayah lainnya. Pada saat bersamaan, di wilayah Andalusia (Spanyol) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap para sultan at-Tawa'if yang berkuasa di Cordoba, Sevilla, dan Toledo.
Pemberontakan itu menyebabkan kekuasaan Islam di Semenanjung Iberia secara perlahan mulai melemah. Dalam situasi yang genting itulah Dinasti Al-Murabitun tampil sebagai penyelamat. Dinasti itu berhasil menyelamatkan wilayah Cordoba, Sevilla, dan Toledo dari kehancuran.
Sekelompok pejuang
Menurut Ensiklopedia Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH), keberadaan Dinasti al-Murabitun berawal dari sekelompok pejuang yang jumlahnya tak lebih dari 1.000 orang. Mereka biasa disebut al-Mulassimun karena mereka selalu menutup wajah untuk melindungi diri dari terik panas matahari di gurun pasir Magribi (Maroko sekarang).
Kelompok ini berasal dari kabilah Lemtuna, sebuah kabilah yang merupakan cabang dari bangsa Berber di wilayah gurun pasir Magribi yang bernama Sanhaja. Asal usul rumpun bangsa Sanhaja adalah Himyar yang berasal dari Yaman di selatan Semenanjung Arab. Orang-orang dari Kabilah Sanhaja ini selanjutnya hijrah ke negeri Syam (sekarang Suriah), lalu ke tepi pantai Afrika Utara sebelum akhirnya menetap di Sahara Afrika.
Pada mulanya, suku bangsa ini datang ke Afrika Utara di bawah pimpinan penjelajah Muslim bernama Uqbah bin Nafi. Jumlah mereka bertambah banyak pada masa pemerintahan gubernur Magribi, Musa bin Nusair (19 H/640 M-98 H/717 M).
Di antara kegiatan mereka adalah menyebarkan agama Islam dengan mengajak suku-suku lain untuk menganut agama Islam, seperti yang mereka anut. Mereka mengambil ajaran Mazhab Salaf (Gerakan Salafiyah) secara ketat. Wilayah dakwah mereka meliputi Afrika barat daya dan daerah Spanyol.
Nama al-Murabitun sendiri berkaitan dengan nama tempat tinggal mereka. Pada awalnya mereka menempati ribat (semacam madrasah) yang dikelilingi oleh benteng. Di ribat itulah mereka berguru kepada Abdullah bin Yasin, seorang pemimpin ribat.
Guna membina kehidupan keagamaan yang baik, Abdullah bin Yasin dibantu oleh Yahya bin Umar, seorang pemimpin Kabilah Lemtuna, dan Abu Bakar bin Umar yang merupakan saudara Yahya. Mereka kemudian mendirikan satu tempat pengemblengan yang dinamakan ribat yang terletak di Pulau Niger, Senegal.
Para penghuni ribat tersebut di kemudian hari dikenal dengan nama Al-Murabitun. Perkumpulan ini berkembang dengan cepat. Sehingga, dalam waktu yang relatif pendek sudah dapat menghimpun sekitar seribu orang pengikut. Para pengikut ini kemudian juga dikirim ke berbagai suku untuk menyebarkan ajaran mereka sehingga jumlah anggota al-Murabitun berkembang pesat.
Sistem kesultanan
Di bawah seorang pemimpin spiritual (Abdullah bin Yasin) dan seorang komandan militer (Yahya bin Umar), mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Wadi Dara. Kemudian mereka juga berhasil menaklukkan Kerajaan Sijilmasat yang dikuasai oleh Mas'ud bin Wanuddin al-Magrawi pada tahun 447 H atau sekitar tahun 1055-1056 M. Ketika Yahya bin Umar meninggal dunia, jabatannya digantikan oleh saudaranya, Abu Bakar bin Umar. Sejak saat itu Abu Bakar memegang tampuk kekuasaan secara penuh dan lambat laun ia berhasil mengembangkan sistem kesultanan.
Sebagai sebuah kesultanan, Abu Bakar memandang wilayahnya masih terlalu kecil. Oleh sebab itu, ia bermaksud memperluas wilayahnya. Maka, pada 452 H/1060 M, Abu Bakar melakukan penaklukan ke daerah Sahara Magribi, yang dimulai dengan menaklukan Fazaz, Zananah, Miknasah, serta mengepung kota Lawata, dan menghancurkannya.
Pada saat itu terjadi kerusuhan di Sahara, dan Abu Bakar terpaksa kembali guna menenangkan situasi. Untuk sementara waktu, kepemimpinan wilayah Magribi diberikan kepada Yusuf bin Tasyfin.
Setelah dua tahun Abu Bakar berada di Sahara, ia kembali ke Magribi. Namun, karena Yusuf bin Tasyfin sudah mengembangkan pasukannya di sana, Abu Bakar merasa cukup untuk memimpin di Sahara saja. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke Sahara, dan kemudian hidup di Sudan hingga akhir hayatnya pada tahun 480 H/1087 M.
Sepeninggal Abu Bakar, pada tahun 453 H/1061 M Yusuf bin Tasyfin dibaiat sebagai amir atau penguasa Al-Murabitun di Maghribi. Pada masa pemerintahannya, dinasti itu mencapai puncak kejayaaan. Sang Sultan membangun kota al-Marakisy sebagai ibukota pemerintahannya pada 454 H/1062 M.
Setelah itu, ia mulai menaklukan seluruh wilayah Magribi sampai ke Aljazair. Ia mengangkat seorang gubernur dari golongan al-Murabitun di setiap wilayah yang ditaklukannya. Puncak prestasi dan karir politiknya dicapai ketika ia berhasil menyebrang ke Spanyol dan menguasai wilayah tersebut.
Tetapi setelah Yusuf bin Tasyfin wafat, pemerintahan pun semakin lemah. Lambat laun Dinasti al-Murabitun mengalami kemunduran dalam memperluas wilayahnya dan akhirnya runtuh di tangan golongan al-Muwahiddun. Hal itu disebabkan perubahan sikap mental dari para penguasa al-Murabitun sepeninggal Yusuf bin Tasyfin yang terlena oleh kemewahan yang berlebihan.
Kemewahan yang mereka peroleh telah mengubah mereka dari sikap yang keras dalam kehidupan Sahara menjadi sikap yang lemah lembut dalam kehidupan Spanyol yang penuh gemerlap dan kemewahan materi.
Masa terakhir dari Dinasti al-Murabitun adalah tatkala dikalahkan oleh Dinasti Muwahiddun yang dipimpin oleh Abdul Mukmin. Dinasti Muwahiddun menaklukkan Maroko pada tahun 541 H/1147 M yang ditandai dengan jatuhnya benteng al-Murabitun di ibukota al-Marakisy dan terbunuhnya penguasa al-Murabitun yang terakhir, Ishak bin Ali.