REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi VI DPR RI menyesalkan proyek listrik 10.000 megawatt Tahap I yang belum kunjung selesai. Molornya proyek itu dinilai salah satu penyebab subsidi BBM membengkak.
Untuk itu komisi yang menaungi PT PLN Persero ini menyarankan perusahaan listrik pelat merah ini tidak menggunakan produk China, kata anggota Komisi VI DPR-RI dari Faksi Demokrat, Ferrari Romawi dalam rapat Dengar Pendapat antara PT PLN dengan Komisi VI DPR-RI di Jakarta, Senin (2/4). Ia mengatakan lambannya penyelesaian proyek 10.000 MW Tahap I ini membuat kebutuhan energi PLN sendiri tidak terpenuhi.
PLN selalu beralasan akibat keterlambatan ini disebabkan produk China yang telat pengirimannya walau PLN sudah menjatuhkan denda 10 persen atas kelalaian tersebut. "Kalau sudah tahu produknya telat jangan pakai China lagi. Terus apa antisipasinya. Jangan menunggu saja," desak Ferrari.
Ia menambahkan karena penyelesaian pembangunan pembangkit berbahan bakar batubara ini tertunda, akhirnya penyewaan mesin diesel terpaksa diperpanjang. "Yang pada akhirnya, PLN harus memikirkan dana untuk membayar sewa diesel tersebut," imbuhnya.
Pendapat senada diungkapkan oleh anggota Komisi VI DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan Daniel Lumban Tobing. Ia mengakui jajaran direksi PLN adalah sosok yang paham dan mengerti akan listrik. Namun, keterlambatan proyek 10.000 MW Tahap I ini dianggapnya sesuatu yang tidak bertanggung jawab.
"Biasanya dari tahap perencanaan, PLN seharusnya sudah mempertimbangkan faktor-faktor apa saja yang akan dihadapi," kata Daniel. Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Lili Asdjudiredja juga mempertanyakan keterlambatan pembangunan proyek 10.000 MW Tahap I.
"Bagaimana PLN bisa membangun proyek listrik Tahap II ini dengan baik, kalau Tahap I ini saja berjalan alot sekali. Jangan-jangan PLN tidak serius," ujar Lili.
Sementara itu, Direktur Utama PLN Nur Pamudji mengungkapkan saat ini proyek listrik yang sudah terbangun sekitar 3.100 MW. Diharapkan pada tahun ini, sekitar 75 persen proyek kelistrikan sudah dapat direalisasikan. "Hingga saat ini sewa diesel, baik di Indonesia Barat, Indonesia Timur dan Jawa Bali sudah aan dana Rp6,302 triliun atau sekitar 11.338 TWh," ujar Pamudji.