REPUBLIKA.CO.ID, Hadis adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat yang berasal dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadis dalam Islam adalah sebagai sumber hukum kedua yang terpenting setelah Alquran.
Keterkaitan antara keduanya sangat erat dan tak bisa dipisahkan. Hadis menjelaskan hukum dan persoalan yang belum dijabarkan dalam Alquran secara jelas.
Dalam beberapa persoalan, hadis menghadirkan hukum tersendiri yang belum disebutkan dalam Alquran. Seperti hukum mengonsumsi hewan Jalalah atau binatang yang makanan sehari-harinya adalah benda najis. Karena itulah, kedudukan hadis adalah sebagai penjelas Alquran.
Akan tetapi, seiring dengan pergulatan pemikiran akibat dari perluasan wilayah yang berimbas pada munculnya keberagaman pendapat, maka perbedaan pun tak dapat dihindari. Setiap daerah memiliki corak dan metode pengambilan hukum masing-masing.
Di daerah Hijaz termasuk Makkah dan Madinah misalnya, terkenal dengan corak periwayatan hadis yang sangat kental, sedangkan umat Islam yang berada di pusat pemerintahan, seperti Irak kala itu, lebih dekat dengan metode rasional.
Perbedaan tersebut akibatnya memicu pemahaman yang beragam tentang interpretasi teks, baik Alquran ataupun hadis. Kendati demikian, riuhnya perbedaan ini tak mengurangi minat para pengkaji hadis untuk menghasilkan pemikiran brilian yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Setidaknya, upaya tersebut berhasil dibuktikan oleh Abdullah bin Malik bin Anas bin Malik Al-Ashbahi (179 H).
Kehadiran tokoh asli Madinah Al-Munawwarah ini memengaruhi metode pemikiran keagamaan. Dalam fikih misalnya, corak pemikirannya senantiasa berdasarkan teks hadis yang menjadi karakternya. Setidaknya, buah pemikiran di bidang hadis-fikih tersebut tertuang secara apik dalam karya monumentalnya yang berjudul Al-Muwaththa.
Inspirasi
Adapun inspirasi yang mendasari Imam Malik menulis untuk Al-Muwaththa adalah permintaan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur. Tepatnya, ketika sang khalifah bertemu dengan Imam Malik dalam suatu musim haji.
Setelah mengikuti majelis ilmu yang dipimpin langsung oleh Imam Malik, Abu Ja’far merasa takjub atas penguasaan hadis dan fikih pemuka Madinah tersebut. Lantas, terbesit di benak Khalifah agar Imam Malik berkenan membuat kumpulan hadis sahih yang membahas tentang hukum fikih dalam berbagai aspek, mulai dari ibadah, muamalah, munakahat (pernikahan), jinayat (pidana), dan lainnya.