REPUBLIKA.CO.ID, Selanjutnya, setelah berabad-abad, kitab karangan Ibnu Bathuthah itu tenggelam dari permukaan, bahkan di dunia Muslim sekalipun.
Hingga pada tahun 1800, salinan pertama diterbitkan di Jerman dan Inggris berdasarkan manuskrip yang ditemukan di Timur Tengah sesuai dengan versi Ibnu Juzzay.
Ketika Prancis menjajah Algeria (Aljazair) pada tahun 1830, mereka menemukan lima manuskrip Ar-Rihlah Ibnu Bathuthah di Konstantina dan dua di antaranya adalah versi lengkap. Naskah manuskrip tersebut lantas diboyong ke Bibliothèque Nationale di Paris.
Pada tahun 1853, manuskrip kitab Ar-Rihlah itu dikaji secara instensif oleh dua sarjana Prancis, yaitu Charles Defrémery and Beniamino Sanguinetti, yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, tak terkecuali Arab. Naskah inilah yang kemudian dijadikan bahan kajian oleh sarjana-sarjana dunia, termasuk cendekiawan Muslim.
Momok
Sayangnya, kitab Ar-Rihlah Ibnu Bathuthah atau mungkin kitab-kitab geografi serupa yang ditulis pada zaman klasik akan menjadi momok bagi kalangan non-Arab. Pertama, kendala bahasa dan nama yang digunakan untuk menyebut sebuah daerah sama sekali asing dan tak jarang susah dimengerti. Akibatnya, sulit memastikan wilayah manakah yang dimaksudkan.
Faktor yang kedua, penulisan geografi tersebut tidak didukung dengan ilmu pemetaan yang sedianya akrab digunakan saat ini. Perubahan geografis dan teritorial yang berlaku dalam hukum internasional turut mengubah letak dan garis suatu negara.
Oleh karena itu, tak sedikit ilmuwan, termasuk sarjana Muslim, mengkaji ulang dan mempelajari kitab Ar-Rihlah. Di kalangan Muslim, misalnya, Prof Mahmud As-Syarqawi mengupas dan memberikan syarah (komentar) atas karangan Ibnu Bathuthah yang diberi tajuk Ar-Rihlah Ma’a Ibn Bathuthah.
Prof Syakir Hadlbaj menulis sebuah buku yang berjudul Ar-Rihlah Ibnu Bathuthah. Lewat karyanya itu, Syakir menguraikan bahasan yang menjadi pelik dan persoalaan.
Pengembara yang alim dan fakih
Ibnu Bathuthah dilahirkan di Tanja, Maroko, pada Rajab 703 H atau Februari 1304 M. Ayahnya adalah seorang hakim terkenal di daerahnya. Sebenarnya, sang ayah mempersiapkan dia untuk mengganti posisi ayahnya sebagai hakim. Oleh karena itu, Ibnu Bathuthah menghafal Alquran dan belajar ilmu agama, sastra, dan puisi.