REPUBLIKA.CO.ID, Dikisahkan dalam laman www.alkisah.web.id, Guru Marzuki lebih memilih metode pembelajaran di luar kelas, yaitu beratapkan langit dan berlantaikan tanah dan rerumputan.
Dalam menyelami pelajaran agama secara bersamaan para santri juga didekatkan pada alam. Guru Marzuki mengajarkan santrinya sambil berjalan di kebun miliknya yang cukup luas. Dan sambil belajar santri juga diajak berburu bajing atau tupai.
Kemana sang guru melangkah para murid mengikutinya dalam susunan berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas empat atau lima orang mempelajari kitab sejenis. Di mana setiap kelompok terdapat juru baca yang bertugas membaca bagian kitab yang dipelajari.
Setelah juru baca selesai membaca, sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setelah satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang mempelajari kitab lain menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.
Begitu seterusnya hingga seluruh kelompok mendapatkan giliran untuk mempelajari pegangan kitab masing-masing.
Namun, sesekali Guru Marzuki juga mengajar sambil duduk di dalam masjid. Ini ia lakukan hanya jika mengajar untuk khalayak umum.
Di sela pengajaran untuk umum, Guru Marzuki juga mendaulat santrinya satu per satu untuk membaca isi kitab yang sedang dibahas. Kemudian sang guru memberi penjelasan atas bacaan santri-santrinya itu.
Meski begitu, metode pengajaran Islam yang dikenalkan oleh Guru Marzuki di tanah Batavia ini belum begitu diterima. Masyarakat Batavia di masa itu lebih cocok dengan metode halaqah di masjid.
Di mana mereka bisa mengatur waktu untuk menghadiri halaqah dan pembahasannya yang lebih umum dan dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pondok pesantren pertama di Batavia ini pun tutup setelah Guru Marzuki meninggal.