REPUBLIKA.CO.ID, Hari-hari perjuangan Shuhaib yang mulia dan cintanya yang luhur itu diawali pada saat hijrahnya.
Pada hari itu ditinggalkannya segala emas dan perak serta kekayaan yang diperolehnya sebagai hasil perniagaan selama berbilang tahun di Makkah. Semua kekayaan ini dilepaskan dalam sekejap tanpa berpikir panjang.
Ketika Rasulullah hendak pergi hijrah, Shuhaib mengetahuinya, dan menurut rencana ia akan menjadi orang ketiga dalam hijrah tersebut, di samping Rasulullah dan Abu Bakar. Tetapi orang-orang Quraisy telah mengatur persiapan di malam harinya untuk mencegah kepindahan Rasulullah.
Shuhaib terjebak dalam salah satu perangkap mereka. Hingga terhalang untuk hijrah untuk sementara waktu, sementara Rasulullah dengan sahabatnya berhasil meloloskan diri atas pertolongan Allah SWT.
Shuhaib berusaha menolak tuduhan Quraisy dengan jalan bersilat lidah. Hingga ketika mereka lengah, ia naik ke punggung untanya. Ia memacu kudanya dengan sekencang-kencangnya menuju sahara luas.
Tetapi Quraisy mengirim pemburu-pemburu mereka untuk menyusulnya dan usaha itu hampir berhasil. Tapi ketika Shuhaib melihat dan berhadapan dengan mereka, ia berseru, “Hai orang-orang Quraisy, kalian tahu bahwa aku adalah ahli panah yang paling mahir. Demi Allah, kalian takkan berhasil mendekati diriku, sebelum aku lepaskan semua anak panah yang berada dalam kantong ini. Dan setelah itu, akan menggunakan pedang untuk menebas kalian, sampai senjata di tanganku habis semua."
Shuhaib terus berseru, "Majulah ke sini kalau kalian berani! Atau jika kalian setuju, aku akan tunjukkan tempat penyimpanan harta bendaku, asal saja kalian membiarkanku pergi."
Mereka sama tertarik dengan tawaran terakhir itu, dan setuju menerima hartanya sebagai imbalan dirinya. "Memang, dahulu waktu kamu datang kepada kami, kamu adalah seorang miskin lagi papa. Sekarang hartamu menjadi banyak di tengah-tengah kami hingga melimpah ruah. Lalu kamu hendak membawa pergi bersamamu semua harta kekayaan itu?”
Shuhaib menunjukkan tempat disembunyikan hartanya itu, hingga mereka membiarkannya pergi sedang mereka kembali ke Makkah. Anehnya, mereka memercayai ucapan Shuhaib tanpa meragukannya sedikit pun. Hingga mereka tidak meminta suatu bukti, bahkan tidak meminta agar ia mengucapkan sumpah.
Kenyataan ini menunjukkan tingginya kedudukan Shuhaib di mata mereka, sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya.