REPUBLIKA.CO.ID, Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku.
Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Sehingga perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya.
Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai.
Di Timbuktu, garam dijual atau ditukar dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam, pedagang kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara.
Saat ini, Mali diakui sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam dan sangat toleran kepada pemeluk agama yang lain. Bahkan, perbedaan agama di dalam satu keluarga tidak terlalu menjadi masalah di sana. Mereka juga saling menghadiri perayaan hari besar agama.
Selain itu, tidak ada pembatasan peran wanita di negara tersebut. Wanita bisa dengan bebas ikut aktif dalam bidang ekonomi, sosial, ataupun politik. Namun, seperti kebanyakan negara berkembang lainnya, Islam di sana masih mendapatkan pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Dari sudut pandang konstitusi, negara tersebut juga sangat menerapkan kebebasan beragama bagi warga negaranya. Pemerintah sangat menghargai kegiatan ibadah agama apa pun dan melindungi hak setiap warga negaranya untuk melakukan ibadah. Kekerasan terhadap agama lain tidak bisa ditoleransi oleh undang-undang dasar mereka.
Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Mali bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Bahkan, negara tersebut cenderung memilih untuk menjadi sekuler, memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial. Pada pemilihan presiden pada April 2002 yang lalu, pemerintah dan partai politik sepakat untuk menjadikan Mali sebagai negara sekuler.