Jumat 29 Jun 2012 10:30 WIB

Renegoisasi Kontrak Karya PT Freeport

Pemerintah berencana merenegoisasi kontrak karya dengan PT Freeport.
Foto: Reuters
Pemerintah berencana merenegoisasi kontrak karya dengan PT Freeport.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sefti Oktarianisa, Nidia Zuraya

JAKARTA -- Peluang renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia makin terbuka. Pemerintah dan Freeport sudah memberi sinyal kesiapan melakukan dialog. Meski begitu, belum ada hasil menggembirakan dari dialog tersebut karena kedua belah pihak masih saling menunggu.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini mengatakan, hingga kini pemerintah masih terus mengkaji renegosiasi kontrak karya dengan Freeport. "Masalah teknis sedang dipelajari pemerintah," ujar Rudi kepada Republika, Kamis (28/6).

Jika Freeport memang siap berdialog dengan pemerintah, ujar Rudi, tentunya pemerintah bakal mengajak Freeport untuk bicara sesegera mungkin. Dia berharap, pembicaraan dengan Freeport itu bisa menjadi awal yang baik dalam proses renegosiasi kontrak karya.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik B Soetjipto mengatakan, saat ini pihaknya dalam posisi siap duduk bersama dengan Pemerintah Indonesia dalam melanjutkan pembicaraan renegosiasi kontrak karya. "Kami masih menunggu panggilan dari timnya Pak Hatta (Menko Perekonomian,)," ujar Rozik, Kamis (28/6).

Kesiapan Freeport melakukan renegosiasi itu juga termasuk membicarakan soal peninjauan ulang besaran royalti yang harus dibayarkan perusahaan tambang Amerika Serikat (AS) ini kepada Pemerintah Indonesia. Terkait besaran royalti, Rozik mengatakan, pihaknya belum bisa berkomentar banyak karena semuanya masih berproses.

Freeport melakukan penandatanganan kontrak karya untuk masa 30 tahun pada 1967 silam. Kontrak karya itu yang menjadikan Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg, Papua, di atas wilayah 10 kilometer persegi. Pada 1989, Indonesia memberi izin perluasan area eksplorasi hingga 61 ribu hektare.

Freeport menandatangani kontrak karya baru dengan masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun pada 1991 dan akan berakhir 2041 nanti. Royalti yang diberi Freeport kepada pemerintah hanya satu persen untuk emas, sedangkan royalti tembaga 1,5 hingga 3,5 persen.

Royalti dipandang amat rendah oleh banyak pihak. Alasannya, di negara-negara lain, royalti kepada pemerintah dari pertambangan emas mencapai lima persen, sedangkan tembaga enam persen. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 3/2012, pemerintah membentuk tim evaluasi untuk penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).

Renegosiasi dilakukan untuk menyesuaikan isi kontrak. Renegosiasi perlu berjalan agar kontrak karya memberi manfaat optimal bagi bangsa Indonesia dan meningkatkan penerimaan negara. Selain royalti, ada sejumlah hal lain yang juga bakal dinego ulang pemerintah dengan Freeport, seperti luas wilayah dan divestasi.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRES) Marwan Batubara mengatakan, pemerintah sebaiknya menutup pabrik Freeport jika perusahaan itu menolak menaikkan royalti dalam dialog terkait renegosiasi kontrak karya. Langkah itu penting untuk memperlihatkan bentuk ketegasan pemerintah.

"Yang jelas, Freeport itu sudah menunjukkan sikap penolakannya pada kontrak kerja yang sedang dibahas saat ini," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (28/6). Menurut Marwan, sikap itu tecermin dari pernyataan petinggi Freeport dan Kedutaan Besar AS di Indonesia. Tanpa ada ketegasan dari pemerintah, Indonesia akan terus dipermainkan.

Tahun ini, Freeport berencana membayar dividen kepada negara sebesar Rp 1,5 triliun. Dividen ini turun 14,77 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp 1,76 triliun. Freeport pernah membayar dividen lebih besar, yakni Rp 2,09 triliun pada 2009, namun 2010 setorannya turun 27,75 persen menjadi Rp 1,51 triliun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement