REPUBLIKA.CO.ID, Di pengujung April 2010 silam, ribuan orang memadati jalan-jalan utama di Kota Beirut, Ibukota Lebanon. Kota Beirut dijuluki sebagainya Parisnya Timur Tengah.
Orang-orang tersebut bukan sedang merayakan sesuatu, melainkan tengah menggelar aksi demonstrasi, menuntut diberlakukannya kehidupan sekularisme di negeri itu.
Para demonstran itu meminta agar tidak ada campur tangan agama dalam urusan politik di negara yang berbatasan dengan Suriah di utara dan timur, serta Israel di selatan.
Tentu saja, aksi tersebut mencengangkan banyak pihak. Sebab, selama ini belum pernah ada gerakan berskala besar yang terang-terangan menolak campur tangan agama dalam kehidupan politik.
Mereka berjalan menuju parlemen dan menentang semua keterlibatan agama dalam politik. Mereka juga menginginkan agar pemerintah dan parlemen Lebanon melarang politik sektarian, yang bersumber dari agama.
Bahkan, para demonstran ini menetapkan tanggal 26 April sebagai hari ‘Kebanggaan terhadap Sekularisme’. Mereka menolak adanya dominasi agama dalam kehidupan politik dan sosial.
Dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya, Lebanon memang banyak aliran keagamaan. Data resmi Lebanon mencatat, setidaknya ada empat aliran yang dianut oleh pemeluk Islam (Syiah, Suni, Druze, dan Alawi) dan enam aliran Kristen (Katolik Maronit, Ortodoks Yunani, Katolik Yunani, Katolik Armenia, Koptik, dan Protestan).
Disamping juga terdapat kelompok minoritas kecil Yahudi yang tinggal di Beirut pusat, Byblos, dan Bhamdoun.
Beragam aliran keagamaan tersebut tentunya mempunyai implikasi. Seperti pernikahan yang berlainan agama dilarang dan pemberlakuan sistem kuota yang berdasarkan agama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Setiap orang yang akan bekerja di sebuah perusahaan dan kantor, maka terlebih dahulu yang ditanyakan adalah dari golongan apa dan apa agamanya.
Demikian pula di bidang politik dan pemerintahan, juga dibagi berdasarkan agama. Misalnya, presidennya seorang Kristen dan perdana menteri dari Suni. Sementara ketua parlemennya dari Syiah dan wakil ketua parlemen dari Druze.
Kebijakan serupa juga diterapkan dalam angkatan bersenjata. Di Lebanon, setiap kelompok memiliki pasukan tentara (milisi) dengan kemampuan persenjataan yang baik. Ini yang kemudian melahirkan warlord (panglima perang) yang memiliki pasukan dengan senjata yang sangat besar.
Tak heran di Lebanon, selain serangan dari Israel, juga terjadi perang saudara antara berbagai golongan dengan latar belakang agama dan ideologi yang ada.