REPUBLIKA.CO.ID, Sekitar tahun 1850-an, Cholil muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan, ia pindah menuntut ilmu ke Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.
Kemudian, melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Keboncandi, Pasuruan. Selama di Keboncandi, Cholil juga belajar pada Kiai Nur Hasan, yang masih terhitung familinya, di Sidogiri.
Pulang pergi dari Keboncandi ke Sidogiri, yang berjarak sekitar tujuh kilometer, dilakoni setiap hari. Selama perjalanan Keboncandi-Sidogiri, ia selalu membaca Surah Yasin, hingga khatam berkali-kali.
Sejak usia belia, Kiai Cholil dikenal sebagai sosok yang mandiri. Sebagaimana diketahui, selain mengajar mengaji, ayah Kiai Cholil juga dikenal sebagai petani dengan tanah yang cukup luas.
Dari hasil pertaniannya, padi dan palawija, serta hasil kebunnya, durian, rambutan, dan lain-lain, Kiai Adul Latif cukup mampu mengongkosi anaknya selama nyantri.
Kendati berasal dari keluarga berada, namun Cholil tak mau merepotkan orang tuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Cholil tinggal di Keboncandi dan belajar membatik. Cholil pun menjadi buruh batik. Dari hasil memburuh batik itu, dia mencukupi kebutuhan hidup dan belajarnya.
Kemandirian dalam diri Cholil muda juga tampak ketika beliau berkeinginan menuntut ilmu hingga ke Makkah. Saat itu, belajar ke Makkah merupakan cita-cita hampir semua santri. Guna memenuhi semua biaya yang dibutuhkan untuk kepergiaan ke Makkah ini, dia memutuskan untuk belajar terlebih dahulu di sebuah pesantren di Banyuwangi.
Pengasuh pesantren itu dikenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Selama menjadi santri di sana, dia juga menjadi buruh pemetik kelapa. Untuk setiap pohon, dia diupah 2,5 sen. Uang yang diperoleh itu ditabung. Sementara untuk makan sehari-hari, didapatnya secara gratis sebagai upah atas pekerjaan rumah yang ia lakoni, seperti mengisi bak mandi, mencuci, dan menjadi juru masak.