REPUBLIKA.CO.ID, “Saya termasuk penentang dan lawannya,” begitulah pernyataan tegas dan sikap yang pertama kali ditunjukkan oleh seorang sufi terkemuka di abad ke 7 H, Ibnu Athaillah As-Sakandari (709 H) terhadap figur sufi tersohor di masanya, yaitu Syihabuddin Abu Al-Abbas bin Umar Al-Anshari Al-Mursi .
Awalnya, tokoh sufi kelahiran Alexandria, Mesir 648 H ini tidak menyangka jika orang yang dibencinya itu kelak justru menjadi guru paling agung dan ia elu-elukan.
Kisah terjalinnya hubungan guru dan murid itu berawal tatkala perdebatan sengit berlangsung antara Ibnu Athaillah dan beberapa teman Al-Mursi.
Ibnu Athaillah pun terdorong untuk mengetahui dan berkenalan langsung dengan tokoh tersebut. Ia berkeyakinan jika orang-orang yang dekat kebenaran, bisa ditangkap oleh indra dan tidak bisa ditutup-tutupi.
Ketika ia bertandang ke tempat Al-Mursi, ia mendapatinya sedang menjelaskan kepada para muridnya tentang derajat para salik yang secara umum terbagi ke tiga bagian, yaitu islam (berserah diri), iman percaya, dan berbuat baik (ihsan).
Singkat kata, uraian Al-Mursi membuat decak kagum Ibnu Athaillah. Ia pun memutuskan bersilaturahim dan bertatap muka. Tak disangka, Al-Mursi menyambutnya dengan penuh kehangatan.
Sikap yang kontan meluluhlantakkan prasangka dan sikapnya selama ini. Sejak itulah ia memutuskan berguru dan mengabdi kepada sang maestro. Dedikasinya itu tergambar jelas dalam sebuah kitab yang ia tulis dan bertajuk Lathaif Al-Mannan.
Penulis kitab Al-Hikam itu mengisahkan latarbelakang dan tujuan penulisan Lathaif. Kitab yang tulis itu secara khusus untuk mengungkapkan asal usul, keistimewaan, kedudukan sang guru di kalangan para sufi, serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh tokoh yang menjadi rujukan kalangan ahli makrifat dan mursyid para salik, yaitu Syihabuddin Abu Al Abbas bin Umar Al-Anshari Al-Mursi.
Kupasannya mencakup pendapat-pendapat tasawuf, ungkapan-ungkapan hikmah, dan berbagai hal penting yang berkenaan dengan aktivitas dan kesimpulan Al-Mursi terhadap tasawuf.
Menurut Ibnu Athaillah, upayanya tersebut ditempuh untuk mendokumentasikan pandangan-pandangan Al-Mursi di bidang tasawuf. Pasalnya, selama ini, sang guru belum pernah mengabadikan karyanya tersebut dalam sebuah buku. Beberapa peninggalannya ditulis oleh para muridnya.
Ibnu Athaillah mengatakan, jika keputusan gurunya tidak menuliskan karyanya didasari fakta bahwa ilmu tasawuf berkaitan dengan olah rasa yang sulit diungkapkan dan dicerna oleh kebanyakan khalayak. Pendokumentasinnya dikhawatirkan akan menimbulkan pemahaman salah.