REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Raja Tibet yang bergelar Dalai Lama ke-5 berkuasa, Muslim Tibet mendapat perlakuan istimewa. Salah satunya, Muslim Tibet diizinkan menjalankan urusannya sesuai dengan syariah.
Tibet bergolak. Kerusuhan dan kekerasan tengah melanda salah satu provinsi di Republik Rakyat Cina (RRC) itu.
Meski Islam hanyalah agama minoritas di wilayah pegunungan Himalaya itu, secara historis bangsa Tibet dan Islam ternyata memiliki hubungan yang erat. Sejak abad ke-8 M, umat Islam telah menjalin hubungan politik, perdagangan dan kebudayaan dengan Tibet.
Tak heran, bila nama Tibet kerap disebut para sejarawan Islam di era kekhalifahan. Sejarawan Yaqut Hamawi, Ibnu Khaldun, dan Tabari menyebut-nyebut nama Tibet dalam tulisannya.
Bahkan, Yaqut Hamawi dalam bukunya bertajuk Majumal Buldan (Ensiklopedia Negara-negara) menyebut Tibet dengan tiga sebutan yakni, Tabbat, Tibet, dan Tubbet.
Ajaran Islam mulai bersemi di Tibet pada era kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz I (717 M-720 M) dari Dinasti Umayyah. Umar mengirimkan utusannya ke pegunungan Himalaya setelah mendapat permintaan dari delegasi Tibet dan Cina untuk menyebarkan Islam di negeri itu. Khalifah pun lalu mengirimkan Salah bin Abdullah Hanafi ke Tibet.
Itulah awal mula ajaran Islam berkembang di Tibet. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan Abbasiyah, para penguasa Baghdad tetap menjalin hubungan dengan Tibet. Orang Muslim di Tibet mendapat julukan ‘Khachee’ yang berarti orang Kashmir. Masyarakat Tibet menyebut bangsa Kashmir dengan panggilan ‘Kachee Yul’.
Kachee alias orang Muslim merupakan kelompok minoritas di Tibet yang didominasi pengikut Budha. Meski Kachee bukanlah orang Tibet asli, ternyata mereka lebih diakui sebagai bagian dari masyarakat Tibet, ketimbang Muslim Hui yang berasal dari Cina yang biasa disebut Kyangsha. Muslim Tibet tersebar di seluruh negeri Tibet.